8 Hakim Ini Bakal Tentukan Nasib Gugatan Pilpres 2024

Hakim Gugatan Pilpres 2024

Ngelmu.co – Hakim konstitusi akan mengetok palu terkait keputusan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024.

Keputusan akan dibacakan hari ini, Senin, 22 April 2024.

Sidang putusan akan digelar di ruang sidang utama Mahkamah Konstitusi (MK), pukul 09.00 WIB.

Paslon 01, Anies-Cak Imin, sebagai pemohon, telah dikonfirmasi MK akan menghadiri sidang putusan tersebut.

Begitu pun dengan paslon 03, Ganjar-Mahfud, yang juga sebagai pemohon, akan turut hadir dalam sidang.

Keputusan akan dibacakan oleh delapan hakim konstitusi, minus Anwar Usman yang disanksi etik tidak boleh memutus perkara pemilu.

Berikut profil kedelapan hakim konstitusi yang akan memutus sengketa Pilpres 2024:

Suhartoyo

Suhartoyo adalah Ketua MK (2023-2028), menggantikan Anwar Usman yang dicopot dari jabatannya.

Ia terpilih sebagai Ketua MK melalui musyawarah mufakat para hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Kamis (9/11/2023) lalu.

Pria kelahiran Sleman ini resmi dilantik sebagai hakim konstitusi pada 17 Januari 2015, kemudian jabatannya diperpanjang pada 2020.

Ia merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung.

Mantan Ketua PN Jakarta Selatan ini merupakan hakim konstitusi yang mengambil dissenting opinion dalam perkara batas usia capres cawapres, yakni Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan tersebut, ia berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum [legal standing] untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan tersebut.

Sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda [dissenting opinion] dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan permohonan a quo.

Perjalanan karier Suhartoyo:

  • Hakim PN Curup (1989)
  • Hakim PN Metro (1995)
  • Hakim PN Tangerang (2001)
  • Hakim PN Bekasi (2006)
  • Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar
  • Wakil Ketua PN Kotabumi (1999)
  • Ketua PN Praya (2004)
  • Wakil Ketua PN Pontianak (2009)
  • Ketua PN Pontianak (2010)
  • Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011)
  • Ketua PN Jakarta Selatan (2011)

Saldi Isra

Saldi Isra dilantik sebagai hakim konstitusi pada 11 April 2017, menggantikan Patrialis Akbar.

Pria kelahiran Solok, 20 Agustus 1968 ini merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.

Menjadi hakim konstitusi merupakan mimpinya. Namun, untuk mewujudkan mimpi itu bukan perkara mudah.

Ia ragu untuk ikut seleksi hakim konstitusi pada 2017, karena usianya yang saat itu masih muda, 48 tahun.

Selain itu juga karena merasa berat hati untuk menanggalkan status sebagai dosen.

Namun, hatinya kemudian mantap maju sebagai hakim konstitusi, setelah mendengar perkataan mantan Ketua MK, Mahfud Md.

Saat itu, Mahfud menyarankan untuk mendaftar, sebagai jalan untuk generasi baru MK.

Saldi akhirnya ikut seleksi yang dibuka Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam Putusan 90, Saldi Isra termasuk hakim yang menyatakan perbedaan pendapat.

Ia menilai permohonan tersebut seharusnya ditolak. Bahkan, dalam pendapatnya, ia mengungkapkan soal kejanggalan putusan tersebut.

Arief Hidayat

Arief Hidayat menjabat hakim konstitusi sejak 1 April 2013, menggantikan Mahfud Md yang mengakhiri masa jabatannya.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu mengaku tidak pernah terpikir, akan menjadi hakim konstitusi.

Sebab, sejak dahulu, ia ingin menjadi pengajar.

Arief mengaku baru berani ikut seleksi hakim MK, setelah tidak menjabat sebagai dekan.

Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk ‘Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945’.

Dalam seleksi tersebut ia mendapat 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR RI.

Arief mengalahkan dua pesaingnya, yakni Sugianto (5 suara) dan Djafar Al Bram (1 suara).

Arief pernah menjabat Ketua MK selama dua periode (14 Januari 2015-14 Juli 2017) dan (14 Juli 2017 – 1 April 2018).

Tahun ini juga merupakan periode kedua Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi.

Dalam Putusan 90, Arief termasuk hakim yang menyatakan dissenting opinion. Ia turut menilai jika permohonan, seharusnya ditolak.

Baca juga:

Enny Nurbaningsih

Enny Nurbaningsih menjadi hakim konstitusi sejak 13 Agustus 2018. Ia merupakan hakim yang diusulkan oleh presiden.

Enny merupakan hakim perempuan yang menggantikan Maria Farida Indrati.

Wanita kelahiran 27 Juni 1962 ini merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta, guna menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).

Ia pun merampungkan pendidikannya, dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981 silam.

Enny kemudian menjadi dosen. Ia juga terlibat aktif dalam organisasi yang terkait dengan ilmu hukum tata negara.

Ia bahkan pernah membentuk Parliament Watch bersama Ketua MK (2008-2013) Mahfud Md pada 1998.

Pembentukan Parliament Watch, dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator.

Dalam Putusan 90, Enny menyatakan bahwa syarat kepala daerah yang bisa maju sebagai capres atau cawapres, seharusnya setingkat gubernur.

Namun, pendapatnya itu masuk dalam alasan berbeda. Enny tergolong hakim yang mengabulkan Putusan 90.

Daniel Yusmic Pancastaki Foekh

Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menjadi hakim konstitusi menggantikan I Dewa Gede Palguna yang telah menyelesaikan masa tugasnya pada 7 Januari 2020.

Pria kelahiran Kupang, 15 Desember 1964 ini merupakan putra pertama Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjabat sebagai hakim konstitusi; sejak MK berdiri.

Daniel merupakan sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang, sementara untuk S2, ia berkuliah di Universitas Indonesia (UI).

Hakim konstitusi yang diusulkan Jokowi ini pernah bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Ia juga terlibat dalam kegiatan Kelompok Cipayung dan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI).

Dalam Putusan 90, Daniel juga menyatakan bahwa syarat kepala daerah yang bisa maju sebagai capres atau cawapres, seharusnya setingkat gubernur.

Pendapatnya itu pun masuk dalam alasan berbeda. Ia tergolong hakim yang mengabulkan Putusan 90.

Guntur Hamzah

Guntur Hamzah lahir di Makassar, 8 Januari 1965. Ia menjabat hakim konstitusi sejak 23 November 2022.

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini merupakan hakim konstitusi yang diusulkan DPR.

Soal pendidikan, Guntur menyelesaikan S2 di Unpad. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Airlangga, dan lulus dengan predikat cum laude.

Sejak Februari 2006, Guntur menduduki jabatan akademik Guru Besar di bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan capaian pangkat saat ini sebagai Pembina Utama dan golongan IV/e.

Guntur pernah melakukan benchmarking pengelolaan program pascasarjana, dan mengamati secara dekat pelaksanaan student centre learning (SCL) di National University of Singapore, University Kebangsaan Malaysia, dan Chulalongkorn University di Thailand.

Sebelum menjadi hakim konstitusi, Guntur pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di MK.

Selain itu, ia juga pernah menjadi Kepala Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, serta Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Pada 2015-2022, Guntur menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.

Selain sebagai hakim konstitusi, Guntur juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) masa bakti 2021-2025.

Pada Putusan 90, Guntur Hamzah menjadi salah satu hakim yang menerima permohonan.

Ridwan Mansyur

Ridwan Mansyur merupakan hakim konstitusi yang diusulkan Mahkamah Agung.

Ia terpilih sebagai hakim konstitusi pada 3 Oktober 2023, dan dilantik 9 Desember 2023.

Pria kelahiran Lahat, 11 November 1959 ini menjadi hakim konstitusi menggantikan Manahan MP Sitompul.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang itu pernah bekerja sebagai penitera Mahkamah Agung.

Ridwan merasa bersyukur dapat bekerja di dua lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Berikut perjalanan karier Ridwan Mansyur:

  • Hakim pada Pengadilan Negeri Muara Enim (1989)
  • Hakim pada Pengadilan Negeri Arga Makmur Bengkulu Utara (1992)
  • Hakim pada Pengadilan Negeri Cibinong (1998)
  • Hakim pada Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/Tipikor dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat
  • Wakil Ketua Pengadilan Negeri Purwakarta (2006)
  • Wakil Ketua Pengadilan Negeri Batam (2007)
  • Ketua PN Batam (2008)
  • Ketua Pengadilan Negeri Palembang Klas IA Khusus (2010)
  • Hakim Tinggi PT Jakarta (2012)
  • Kepala Biro Hukum dan Humas MA (2012-2017)
  • Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung (2017)
  • Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tanjungkarang
  • Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Semarang
  • Panitera Mahkamah Agung
  • Hakim Konstitusi

Dalam Putusan 90, Ridwan Mansyur belum dilantik sebagai Hakim Konstitusi.

Arsul Sani

Arsul Sani menjabat sebagai hakim konstitusi sejak 18 Januari 2024.

Ia merupakan hakim konstitusi yang dipilih dan diajukan DPR RI untuk menggantikan Wahiduddin Adam yang menjalani masa purna tugas.

Sebelum menjadi hakim konstitusi, Arsul merupakan politisi PPP. Namun, setelah terpilih sebagai hakim konstitusi, ia mundur dari partainya tersebut.

Lulusan S1 Fakultas Hukum UI itu memulai kariernya di bidang hukum dengan menjadi asisten pembela umum sukarela (volunteer lawyer) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1986-1988).

Setelah itu, jenjang pendidikan dan pengalaman kerjanya cukup beragam.

Sebelum menjadi anggota DPR RI hasil Pemilu 2014, Arsul adalah seorang praktisi hukum korporasi, arbiter, dan eksekutif di sebuah perusahaan PMA multinasional.

Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, Arsul menjadi anggota tim lawyer pemerintah RI di bawah Almarhum Adnan Buyung Nasution.

Dalam menghadapi sejumlah gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah RI di Jakarta, Washington DC, dan Den Haag terkait penghentian beberapa proyek listrik swasta.

Dalam Putusan 90, Arsul Sani belum dilantik sebagai Hakim Konstitusi.