Berita  

31 Tahun Sudah Mbah Marem Jualan Jamu Gendong Keliling

Jamu Gendong Mbah Marem
Foto: Basra/Masruroh

Ngelmu.co – Tiga puluh satu tahun sudah, Mbah Marem (64), berjualan jamu gendong keliling kampung di Kota Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur (Jatim).

Sebelumnya, kalau bicara soal jamu di Indonesia, jelas, kita tidak akan terlepas dari jamu gendong.

Jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan yang dipasarkan dengan cara dimasukkan ke botol-botol, kemudian disusun di dalam bakul.

Saat berjualan, penjual jamu biasa menggendong bakul tersebut. Itulah kenapa, jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.

Sebab, jamu gendong memang biasa dijual secara berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya.

Meskipun saat ini jamu gendong makin berkurang. Bahkan, bisa dibilang cukup susah untuk menemui penjualnya.

Termasuk di Surabaya.

Namun, Mbah Marem, masih bertahan. Ia berjualan jamu gendong di kawasan Ambengan hingga Ngaglik.

Tiap jam enam pagi, Mbah Marem mulai berkeliling menjajakan jamu gendong.

“Dulu bisa sampai Kapas Krampung, tapi sekarang dekat-dekat rumah saja kelilingnya.”

“Si Mbah, sudah enggak kuat kalau jalan jauh,” tutur Mbah Marem, Senin (1/7/2024).

Wanita lansia yang tinggal di kawasan Ambengan ini mengaku sudah berjualan jamu gendong sejak 1993 silam.

Mbah Marem, mengikuti jejak sang kakak.

Ia yang tinggal bersama suaminya merupakan perantau asal Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng).

“Tinggal [di Surabaya] sama suami. Anak ada di desa. Suami jualan bubur ayam yang dipikul, sama, keliling kampung juga,” kata Mbah Marem.

Ia menjual jamunya seharga Rp3 ribu per gelas.

Mbah Marem, bilang, jamu yang dijualnya itu buatan sendiri.

Tiap hari, sekitar jam tiga dini hari, Mbah Marem mulai memasak jamunya, dibantu sang suami.

Keahlian meracik jamu itu ia dapat dari sang kakak.

“Kakak ‘kan jualan jamu juga, tapi sekarang sudah berhenti, karena sudah enggak kuat jalan,” jelas Mbah Marem.

Baca juga:

Sebelum azan Zuhur berkumandang, sekitar pukul 10 atau 11, Mbah Marem akan pulang ke rumah; meski jamunya belum habis terjual.

Ia memilih hal tersebut, karena cuaca panas di Surabaya, cukup menyengat.

“[Jamunya] sering habis, tapi kalau enggak habis, masih ada, sisa sedikit, ya, enggak apa-apa, tetap pulang.”

“Panas, Nak. Mbah enggak kuat jalan,” ujarnya.

Mbah Marem, menjual beberapa racikan jamu tradisional, antara lain kunyit asem, sinom, beras kencur, dan suruh.

Tentunya, ia juga membawa air panas dalam termos untuk menyeduh jamu instan.

Mbah Marem, membawa jamu instan seperti buyung upik, pegel linu, dan masih banyak lagi.

Ia juga mengakui jika saat ini anak-anak tidak terlalu menyukai jamu racikan.

Mereka lebih memilih membeli jamu instan, seperti jamu buyung upik.

“Kalau anak-anak, jarang yang beli jamu racikan. Mereka sukanya jamu buyung upik.”

“Jamu racikan biasanya yang beli, ya, ibu-ibunya,” kata Mbah Marem.

Baginya, berjualan jamu gendong bukan hanya untuk mengais rezeki, tetapi juga melestarikan budaya leluhur.

Mbah Marem mengaku akan tetap berjualan jamu gendong, selama ia mampu berjalan keliling kampung.

“Sekarang yang dekat-dekat saja kelilingnya, dan enggak bisa sampai sore,” tutup Mbah Marem.

Semoga si Mbah, sehat selalu, ya!