Oleh Ustadz Suryadarma
Ngelmu.co – Perlu sekali pemahaman yang benar terhadap Islam agar tidak terjadi bauran antara Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif itu adanya di Quran dan Sunnah. Sementara Islam historis bersemayam dalam lembaran sejarah berupa cara pandang atau ijtihad dan praktik umat terhadap teks normatif.
Istilah “salafi”, “sunni”, “syiah”, “khilafah”, “daulah”, “sulthanah”, adalah historis. Tapi hari ini Islam historis lebih mendominasi cara paham kita tinimbang ikhtiar mencari makna dan substansi yang benar dari teks agama.
Dulu saya punya sahabat yang sungguh dekat dengan saya. Tapi begitu saya dapat kabar bahwa ia pengikut Syiah, tiba tiba saja ada pergeseran paham mendasar dalam pikiran saya tentang sahabat itu. Bahkan pergeseran itu menyentuh juga sisi emosi saya. Padahal selama ini komunikasi kami baik-baik saja dan hubungan persahabatan yang terbangun sudah sangat erat.
Selama persahabatan, saya tidak pernah menemukan hal yang aneh secara moral dari sahabat itu. Bahkan kadang ia berani berkorban untuk memuluskan wujudnya keinginan saya. Luar biasa pengaruh Islam historis ini. Persahabatan tulus yang saya rasakan selama ini bertahun tahun, tiba-tiba saja sirna oleh kehadiran terminologi yang lahir dari rahim pergumulan sejarah umat.
Hari ini mungkin ada baiknya kita berpikir ulang dan mencoba melihat lebih jujur penyebab utama kondisi umat yang centang perenang dan terkesan makin jauh dari posisinya yang sesungguhnya sebagai gerbong maslahat untuk peradaban kemanusiaan.
Alih-alih bergandengan tangan untuk menebar rahmat, kita malah disibukkan dengan urusan gontok-gontokan kekanak-kanakan, saling boikot, dan tanpa sadar memelihara “budaya suud dzan”. Sunni-Syiah berantem adalah kisah usang. Kini Sunni dengan Sunni saling boikot dan saling memojokkan. Apa pasal ? Ya itu, stereotype kuno yang dijual kemana-mana melalui istilah karet seperti: terorisme dan antek anarkhi.
Jadi perlu -meminjam istilah Prof Mukhtar Syinqithi- islah terhadap tsaqafah kita. Wawasan kita hari ini masih lebih bernuansa beban dan alat vonis dibanding sebagai instrumen pencerahan.
Cara kita melihat permasalahan lebih banyak beranjak dari gerbang histori umat. Bahkan awal komunikasi kita pun lebih sering bermula dari sana. Saya biasa berjumpa dengan aktifis yang biasanya mengawali salam sembari melirik bagian bawah kain celana saya. Padahal yang dia lirik jelas-jelas muslim. Lahir dari bapak dan ibu muslim. Di KTP pun tertulis benderang beragama Islam. Mestinya status saya sebagai muslim sudah cukup. Tak perlu nyari “pemandangan lain”, apalagi masuk bab investigasi segala. Ini adalah cara pandang Islam normatif. “Dialah yang memberimu nama muslimin”, (Al Hajj :78) Dan kita semuanya tetap muslim meski kita dituduh sesat atau bergelimang dengan praktik keagamaan yang disemat sebutan bid’ah. Karena Nabi saw pernah bersabda, “Barangsiapa shalat dengan shalat kita, menghadap kiblat kita, dan makan sembelihan kita, maka itulah dia orang muslim, yang diberi perlindungan oleh Allah dan RasulNya. Maka janganlah kamu mengkhianati perlindungan itu,”hadis riwayat Bukhari.
Jadi alih-alih bergesekan sesama aktifis, fokus kita seharusnya adalah mengkritisi penguasa diktator penebar kerusakan atau mereka yang menguras habis sumber daya yang seharusnya berfungsi sebagai pengungkit lembaran kesejahteraan dan keadilan. Melawan kediktatoran dan kedzaliman berstatus aksioma dalam Islam. Sesuatu yang sungguh paten dalam teks agama.
Misi utama Nabi dan Rasul adalah meluruskan jalan sejarah yang telah dibengkokkan dan dirusak oleh tiran. Karena itu wajar jika Nabi saw memuji dalam hadis shahih riwayat Thabrani dan Al Bazzar, bahwa berkata benar dan jujur depan tiran adalah jihad teragung. Bahkan Nabi saw menyebut orang yang paling pedih siksaannya di hari akhirat nanti adalah orang yang memaksakan dirinya jadi pemimpin sementara rakyatnya benci dia (hadis shahih riwayat Tirmidzi).
Kita mesti punya agenda prioritas untuk perubahan mendasar. Cara berpikir yang selama ini kita pakai untuk membedah persoalan tidak memiliki tenaga yang cukup untuk melahirkan perubahan itu. Karena jika Islam historis ini terus menjadi rujukan dalam menganilisis masalah, maka bisa dipastikan umat makin tenggelam dalam kubangan lumpur pertikaian internal.
Fokus kita adalah menegakkan misi profetik yang telah diteladankan para Nabi dan Rasul. Membebaskan manusia dari eksploitasi dan penindasan. Lupakan tema kekanak-kanakan yang kadang jadi lahan sengketa yang memicu ghibah dan perasaan hebat sendiri.
Amerika juga pernah melihat secara kekanak-kanakan faktor serangan 11 September. Mereka menuduh fiqh Hanbali dan cafa berpikir Ibn Taimiyah sebagai penyebab teror yang menghancurkan menara kembar di New York. Padahal dalam laporan kongres Amerika dicatat bahwa seorang teman Muhammad Syihhi, salah seorang pilot pesawat yang menabrak menara kembar, pernah bertanya kepadanya waktu mereka masih kuliah di Jerman,”Kenapa saya tidak pernah melihat kamu senyum bersama Muhammad Atha (pilot bersama Syihhi yang menabrak menabrak menara) ?” Syihhi menjawab,”Bagaimana saya bisa senyum, sementara rakyat Palestina dibunuh tiap hari ?”