Ngelmu.co – Pancasila Tersandera Di Lorong Sunyi. Ada yang menarik saat Presiden ketiga RI Prof Dr BJ Habibie menyampaikan sambutannya di acara pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silkanas) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) 2017. Habibie justru membahas Pancasila bukan tentang ICMI.
“Di manakah Pancasila kini berada? Bagaimanakah peranan dan penerapan pada pembangunan Nasional? Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena sejak Reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi,” papar Habibie.
Ungkapan ini keluar dari Habibie, karena dia melihat bahwa makna Pancasila sekarang mulai pudar sebagai jati diri bangsa Indonesia. Pancasila yang dibubuhkan para proklamator 72 tahun silam telah melewati berbagai peradaban manusia yang terus berkembang dan tak pernah terhenti di titik terminal.
Pasca 1998, masyarakat Indonesia bak menyambut fajar reformasi yang dikuti gelombang demokrasi di berbagai bidang. Sayang reformasi ini justru menggerus arti penting dalam Pancasila yang semakin ke sini semakin jarang diucapkan, diikuti, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan, keneragaan dan kebangsaan, maupun pembangunan nasional. “Pancasila seperti tersandera di lorong sunyi di tengah denyut kehidupan Indonesia yang semakin hiruk pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik,” lanjut Habibie.
Pria yang sering juga disapa dengan sebutan Eyang ini memaparkan, secara luas Pancasila sebagai ideologi negara juga diartikan sebagai visi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Hal tersebut juga tercantum dalam ketetapan MPR no 18 tahun 1998, yang berisi tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Disebutkan dalam pasal 1, bahwa Pancasila memiliki kedudukan sebagai ideologi Nasional, di samping kedudukannya sebagai dasar negara. Pancasila sebagai ideologi negara memiliki arti, menjadi alat yang dapat menyatukan masyarakat dalam wujud aksi nyata, sehingga tidak hanya dijadikan sebagai slogan semata.
Pancasila juga mempu menjadi alat pemersatu masyarakat, sehingga dapat dijadikan pedoman dan prosedur untuk menyelesaikan berbagai masalah. Ideologi ini dikonsep sebagai platform bersama untuk berbagai macam ideologi pada saat itu, atau pada saat para proklamator mengikrarkannya. Pancasila pun dapat diartikan sebagai bentuk persetujuan politik yang telah disepakati secara mufakat.
“Dan dasar Pancasila itu menolak akumulasi kekayaan yang dikuasai segelintir orang saja. Ekonomi pasar Pancasila menjamin kepemilikan masyarakat yang penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang,” ujar Habibie.
Riuh tepuk tangan pun bergemuruh di salah satu ruangan Istana Kepresidenan tersebut. Sekitar 200 orang anggota ICMI yang datang dari berbagai daerah seakan terkesima mendengar pemaparan Habibie yang lantang. Mungkin tak seorang pun mengira bahwa Habibie yang usainya genap 81 tahun dan kerap diberitakan sakit masih memiliki suara menggelegar dan menggebu-gebu menjelaskan tentang pentingnya arti Pancasila.
Dengan dialek bicara khas campuran Bugis dan Jerman, BJ Habibie kembali memaparkan tentang Pancasila yang semakin tertutup keberadaanya oleh perkembangan zaman. Menurut dia, terdapat berbagai hal yang membuat Pancasila seolah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Di antaranya, situasi lingkungan kehidupan bangsa yang berubah baik domestik, regional, dan global.
Proses globalisasi ini semakin memperburuk ideologi tersebut karena tak diimbangi dengan rasa tanggung jawab atas kewajiban hak asasi manusia. Selain itu, Habibie mengatakan, pemanfaatan teknologi informasi yang tidak dibendung memiliki kekuatan dan bisa memberikan pengaruh buruk dalam aspek kehidupan masyarakat yang rentang terhadap manipulasi.
Habibie menjelaskan, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, akan tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang saat ini penuh dengan permasalahan. Pancasila justru dipersalahan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang bersifat monolitik, sehingga membekas sebagai trautma sejarah yang harus dilupakan.
Padahal, penghayatan Pancasila terhadap sebuah rezim pemerintah tertentu adalah kesalahan mendasar. Sebab, ideologi ini bukan milik sebuah era, atau ornamen kekuaraan pemerintah pada masa tertentu. Dia menegaskan, Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang atau golongan. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia.
“Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalannya. Pancasila akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan apapun,” kata Habibie.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat ketika masyarakat menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa Indonesia yang majemuk ini. Saat infrastruktur demokrasi telah dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan menggunakan kekerasan mengatasnamakan agama akan menjadi kontraproduktif.