Menyaksikan kondisi umat hari ini yang masih mengkultuskan sosok individu padahal orang tersebut sudah tak taat kepada jamaahnya, mengingatkan kita pada kisah mempesona Imam Syahid Hasan Al Banna.
Suatu hari beliau pernah berceramah di sebuah muktamar komite pelajar Ikhwanul Muslimin di Kairo pada tahun 1938. Saat sedang ceramah, seorang pemuda yang terlalu bersemangat meneriakkan namanya,”Hidup Hasan Al-Banna.”
Teriakan itu tak ada yang menimpali, sepi. Namun reaksi sang Imam sangat tak terduga, sambil menahan amarah dia berkata :”KETAHUILAH”!!, “setelah ini, tak ada lagi yang menyeru kepada nama seseorang dalam dakwah Kami”;!! CUKUP KALIAN MENYERU KEPADA ISLAM !! karena dakwah ini, terbangun di atas manhaj Rabbani.”
Lain lagi cerita di kota Rasyid. Seorang ustadz yang biasa mengobarkan semangat berkata di atas mimbar saat acara Isra’ Mi’raj,”Perumpamaan kita dengan Imam Assyahid, seperti Nabi Muhammad diantara para sahabatnya.”
Tak menunggu ceramah usai, Imam Syahid bangkit dan maju, mendekati mic sang penceramah lalu berkata,” Ikhwan sekalian, saya mohon maaf seandainya ustadz yang sedang berceramah melakukan khilaf dalam perkataannya, dimanakah kita diantara para murid agung Rasulullah SAW?”
Imam Syahid kembali ke tempat, dan sang ustadz terdiam, lalu langsung turun dan meninggalkan tempat acara. Sejak itu hubungannya dengan Ikhwan terputus. Di kemudian hari, dia mendirikan Jam’iyyah Attaqwa wal Irsyad di Iskandariah.
Wahai umat Islam…Cerita di atas hanya sebagian kecil cerita soal kehati-hatian sang Imam dalam menjaga kemurnian dakwahnya. Dia tak terbuai dengan puji, juga tak tertipu dengan janji. Sang Imam sebagai motivator sekaligus penjaga keaslian dakwah Ikhwan merasa perlu menekankan perihal itu sejak dini. Mungkin beliau membayangkan dirinya masih hidup saja penyimpangan bisa terjadi, bagaimana seandainya beliau tak bersama lagi.
Apa yang kemudian terjadi pada dakwah kita hari ini, silahkan dijawab sendiri, saya tak ingin menghakimi, namun kalau mau sedikit rendah hati rasanya kita harus malu, betapa prinsip da'wah Ikhwan yang pertama yaitu ALLOH SEBAGAI TUJUAN (Allohu Ghoyatuna) tak benar-benar diresapi.
Sebut saja, betapa banyak hari ini para da’i yang keliru dalam manhaj dan metode yang di gunakan. Alh-alih mengajak manusia kepada Tuhannya, yang muncul malah kekaguman manusia terhadap dirinya. Tak sedikit para da’i yang menikmati situasi ini, membangun kekaguman manusia sambil mengumpulkan materi dan popularitas.
Wahai umat Islam…Dakwah ikhwan bagi sang Imam harus diletakkan diatas prinsip-prinsip Ketuhanan (Rabbani), tak ada yang lain. Maka segala tindakan atau pemikiran yang bisa mengarah kepada penghambaan kepada makhluk (kultus individu) akan tegas ditentang. Untuk urusan itu beliau tak kenal kompromi.
Ketegasan beliau menentang penyebutan namanya, karena tak ingin ada yang meneriakkan dan mengusung nama atau simbol selain nama dan simbol Alloh SWT, tak mengelu-elukan atau mengagung-agungkan seseorang pun selain Rasulullah SAW.
Wahai umat Islam…Seandainya hanya satu slogan saja, yaitu ALLOH TUJUAN KAMI yang diberikan oleh Imam Syahid sebagai panduan, rasanya semua perkara sudah cukup terwakili. Betapa dengan menjadikan Alloh satu-satunya yabg dituju maka artinya seorang Ikhwan tak lagi membangun komitmen di atas prinsip yang salah. Tak mencari nafkah dengan cara yang salah, tak berprilaku dengan cara yang keliru dan tak beraktifitas kecuali hanya Alloh yang dijadikan prioritas.
Ketidakpahaman dalam mengamalkan slogan Alloh sebagai tujuan, sering membuat seseorang tak takut menabrak aturan, mendekati maksiat dan menikmati yang syubhat bahkan diantaranya sudah terbiasa dengan yang haram. Bayangkanlah jika yang halal saja tak menjamin kau semakin taat bagaimana bisa yang syubhat dan haram menjauhkanmu dari maksiat.
Maka, munculnya persoalan-persoalan hari ini yang mengikis nilai persaudaraan bisa jadi karena imbas dari kesalahan yang kita lakukan. Karena itu evaluasi jadi keharusan, karena berhimpunnya seseorang didalam kawanannya tentu didasari atas kesamaan kebutuhan.
Maka tersisihnya seseorang dari komunitas kebaikan bisa jadi karena adanya perbedaan pemahaman dalam menempatkan Alloh sebagai tujuan.
Abu Mu’adz Alfatih