Ngelmu.co – Kebijakan yang akan diambil oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, terkait dengan mengembalikan becak sebagai salah satu alat transportasi di wilayah permukiman, menuai kontroversi. Banyak masyarakat yang mendukung, namun ada juga masyarakat yang menentang. Padahal sudah dipastikan bahwa keberadaan becak tidak di wilayah jalan protokol, namun hanya berada di wilayah pinggiran, permukiman penduduk.
Terkait hal tersebut, berikut adalah tulisan pendapat dari seorang warga masyarakat yang menurut Tim Ngelmu patut dibaca tuntas.
INTOLERANSI YANG ABSURD
Baru sadar akan angka-angka mobil vs. becak di Jakarta. Mempesona jua. Ada sekitar 2,500,000 mobil penumpang pribadi. Hanya ada 1,000an becak.
Mobil-mobil itu memakai 25,000,000 m2 lahan jalan kalau diam tak bergerak. Kalau bergerak bisa 50,000,000 hingga 60,000,000 m2 (Belum lagi parkirnya di jalan milik sabarataan, tempat isi bensin, bengkel dll).
Becak total hanya memakai 2,000 m2 lahan jalan. Itupun di ruang-ruang yang jarang dilewati mayoritas mobil-mobil itu.
Bagaimana mungkin pemilik yang 2,500,000 itu tak mau toleransi sama yang punya cuma 1,000an itu? Lagipula yang 1,000 itu benar-benar untuk kebutuhan hidup minimal; sementara yang 2,500,000 itu untuk banyak hal melampaui minimal.
Sementara itu, minimal 250,000 ojek online (baru satu merek saja) beroperasi MELANGGAR UNDANG-UNDANG (Kata Jonan ketika Menhub) di seluruh Jakarta. Kenapa tidak!
Benar juga kata orang, mengurangi ketimpangan dengan menolong yang lemah dan miskin itu tak sukar. Mereka hanya perlu sedikit. Yang sukar itu meladeni intoleransi yang kaya. Hal yang sama mungkin benar dalam hal membantu orang bodoh; tantangannya ada pada meladeni yang pintar yang tidak toleran, bukan sebaliknya.
Oleh Ir Marco Kusumawijaya
Arsitek, Ahli Perancangan Kota & Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta