Ngelmu.co – Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Selandia Baru, pada Senin (19/3/2018) lalu, menuai kontroversi dan meninggalkan komentar tidak menyenangkan di media setempat. Adalah Audrey Young, editor politik NZ Herald, yang menyatakan bahwa kunjungan Jokowi tidak menghormati pemerintah negara itu.
Penilaian itu diungkapkan Audrey menanggapi tidak adanya konferensi pers bersama yang dilakukan Presiden Jokowi dan PM Selandia Baru, Jacinda Ardern, saat itu. Menurut Audrey, pemerintah setempat melalui Menteri Luar Negeri dan Perdagangan sudah menyampaikan rencana konferensi pers bersama itu, namun ditolak pemerintah Indonesia.
Berikut adalah tulisan di salah satu media New Zealand (Selandia Baru), NZ Herald, yang ditulis oleh Audrey Young.
Audrey Young: Kunjungan Pemimpin Negara yang Tidak Menghormati Tuan Rumah, dengan Tidak Berbagi Platform dengan Tuan Rumahnya, Jacinda Ardern
Saat Barack Obama berkunjung ke Selandia Baru, dia menolak untuk berbicara di hadapan media. Hal tersebut dikarenakan Obama memiliki alasan, yaitu perjalanannya ke Selandia Baru adalah perjalanan pribadi.
Namun, saat Presiden Indonesia, Joko Widodo, berkunjung ke Selandia Baru, dia tidak memiliki alasan seperti halnya alasan Obama. Sungguh memalukan bahwa pada kunjungan kenegaraan Joko Widodo dinilai gagal menampilkan dirinya sebagai pemimpin negara kepada publik Selandia Baru.
Ketika mempersiapkan kunjungan Joko Widodo, Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru sudah menjadwalkan konferensi pers bersama Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, tetapi pihak Indonesia, Joko Widodo menolak. Ardern dinilai terlalu diplomatis untuk menggambarkannya penolakan Joko Widodo tersebut yang bisa dikatakan sebagai penghinaan terhadap Selandia Baru.
Ketika para pemimpin Selandia Baru mengunjungi negara lain, mereka diharapkan oleh rakyat Selandia Baru untuk berperilaku sesuai dengan protokoler dan nilai-nilai negara yang dikunjungi tersebut. Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk pemimpin negara lain yang mengunjungi Selandia Baru.
Ketika pemimpin suatu negara berkunjung ke negara lain, kemudian keduanya duduk bersama dan berbicara tentang hubungan di antara kedua negara tersebut merupakan tampilan implisit dari rasa hormat terhadap pemimpin dan negara lain. Sebaliknya berlaku. Menolak untuk melakukannya secara implisit bisa diartikan bahwa pemimpin tersebut tidak menghormati Ardern dan Selandia Baru.
Pemerintah perlu mengirim pesan dengan segera dan mendesak kepada Kementerian Luar Negeri Selandia Baru bahwa agenda acara untuk kunjungan VIP mendatang wajib mengikuti agenda yang telah disiapkan bukan hanya sekedar undangan. Hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan para tamu kenegaraan kecuali ketika terjadi keadaan luar biasa. Jika Ardern tidak menjelaskan hal ini sekarang, Kementerian Luar Negeri Selandia Baru akan terus menyajikannya yang hanya berupa pilihan take-it-or-leave-it bagi negara yang berkunjung.
Kunjungan Widodo sama halnya dengan kunjungan tingkat tinggi minggu sebelumnya dari Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Xuan Phuc, yang juga menolak konferensi pers yang sudah direncanakan pihak Selandia Baru. Kedua contoh kunjungan kenegaraan tersebut seharusnya tidak terjadi lagi di sisa masa jabatan Ardern.
Menggelar acara konferensi pers kepada publik Selandia Baru merupakan suatu yang dilakukan bagi setiap kunjungan VIP di bawah kepemimpinan Helen Clark dan John Key.
Pada tahun 2001, ketika Clark menjadi tuan rumah Presiden Indonesia pertama yang mengunjungi Selandia Baru dalam 29 tahun, Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia saat itu melaksanakan konferensi pers yang membekas di hati dan ingatan publik Selandia Baru dengan berbicara tentang masalah dengan korupsi dalam sistem hukum dan peradilan negara Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid dalam konteks menjawab pertanyaan tentang keadilan untuk pembunuh Leonard Manning, yang tewas saat melakukan patroli dekat perbatasan Timor Barat.
Publik Selandia Baru sebenarnya berharap dengan kunjungan VIP Joko Widodo ini bisa terbuka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang daerah yang berpotensi sensitif, seperti Papua di era pemerintahan Widodo.
Tapi jika mereka tidak mampu menangani [pertanyaan-pertanyaan itu], mungkin seharusnya mereka tidak terjun ke dunia politik. Bukan menjadi tugas pemerintah Selandia Baru atau Menlu untuk melindungi tamu VIP dari isu sensitif.
Sumber: http://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12019850