Ngelmu.co, JAKARTA – Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) pada satu tahun menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019 mandek di angka 36,2 persen. Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun menyebutkan dua faktor yang membuat elektabilitas Jokowi sulit naik dan terancam stagnan, yakni ekonomi dan keadilan hukum.
Rico mengatakan, masyarakat sebenarnya mengalami kegelisahan di bidang ekonomi, mulai dari harga-harga naik hingga kesulitan mencari kerja. Ia menambahkan kegelisahan itu sebenarnya belum bisa dijawab oleh Jokowi hingga sekarang.
Rico berpendapat masyarakat yang sudah semakin melek tidak ingin Jokowi menjawab dengan kerja nyata bukan dengan alasan. “Masyarakat ini merasakan secara langsung kesulitan ekonomi. Meskipun pemerintah selalu menggemborkan-gemborkan ekonomi mengalami kenaikan. Seperti masa orde baru,” kata dikutip Republika pada Selasa (17/4/2018.
Terkait keadilan hukum, masyarakat, terutama yang berada di di dalam gerakan Islam politik, agak kecewa dengan Joko Widodo. Mereka yang terlibat dalam Aksi 212 dan sedang menghadapi kasus hukum mendapat perlakuan yang berbeda.
Kasus-kasus hukum tersebut, dia mencontohkan, misalnya terkait laporan Sukmawati atau Vicktor Laiskodat. Ia menambahkan kasus Sukmawati yang bisa diselesaikan tanpa jalur hukum, tetapi mereka ingin diselesaikan melalui hukum.
“Memori itu ada di dalam publik dan menganggap itu tidak tepat. Bahkan seperti kasus kriminalisasi, angkanya pun 40 persen, besar sekali, mungkin ini pun menjadi silent majority,” tutur Rico.
Di sisi lain, sebanyak 46,37 persen responden ingin ada pergantian presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Tagar #gantipresiden2019 pun menjadi perwujudan keinginan publik.
“Sehingga kenaikannya pun tidak signifikan. Juga sudah terbangunnya mood publik untuk mengganti Jokowi, angkanya berkisar 46 persen,” kata Rico.
Untuk bisa menaikkan elektabilitasnya, Joko Widodo harus menyelesaikan masalah ekonomi. Rico mengaku sependapat dengan Rizal Ramli, yaitu kalau melihat persepsi sudah terbentuk maka tidak perlu diingkari lagi.
Artinya, lanjut Rico, publik itu resah dengan utang, dan kesulitan mencarai pekerjaan serta semua serba mahal. “Jadi aku yang dulu kalau itu terjadi atau ada lalu cari solusinya. Jadi tidak perlu berargumentasi bahwa jangan kuatir masalah utang,” kata dia.
Kedua, Joko Widodo harus mencari sosok penghubung untuk berdiskusi dengan aktivis gerakan 212. Bagainanapun juga, langkah-langkah komunikasi politik Joko Widodo tidak bisa menyelesaikan kegelisahan masyarakat.
Hasil survei dari Media Survei Nasional (Median) menunjukkan elektabilitas Joko Widodo masih berkutat di angka 36,2 persen. Kendati demikian, angka itu tertinggi dibandingkan nama-nama lain yang tertinggi. Elektabilitas pesaing terdekatnya, Prabowo Subianto, bertengger di angka 20,4 persen meski mengalami penurunan elektabilitas.