Ngelmu.co, JAKARTA – Anggota komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan pelibatan anak-anak dalam aksi teror di Surabaya. Menurutnya, radikalisme anak-anak muncul karena minimnya pendidikan karakter dan budi pekerti.
“Budi pekerti dan karakter tentang menghormati orang lain, toleransi, menyampaikan dan menghargai pendapat orang, mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ledia dikutip Medcom.id, Jumat (18/5/2018).
Bentuk pendidikan budi pekerti itu bukan saja sebatas ajaran secara lisan di sekolah. Tetapi juga keteladanan dari guru dan orangtua kepada anaknya dalam kehidupan sehari-hari.
“Pendidik harus memastikan anak didiknya bisa mengimplementasi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan sampai menjadi perilaku. Sudah barang tentu pendidik harus jadi teladan anak-anak. Demikian juga orang tuanya,” ucap Ledia.
Politisi PKS itu menyadari, butuh waktu yang tidak sebentar untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter dan budi pekerti. Butuh praktik dan ajaran yang berkesinambungan dari orang-orang terdekat.
“Pendidikan ini bukan hanya kognisi (pengetahuan) tapi dibangun sampai melibatkan perasaan, diaplikasikan dalam keseharian sehingga terbentuk perilaku. Tidak bisa setahun dua tahun,” tutur Leida.
Ledia mengaku miris melihat anak-anak dijadikan tumbal paham radikal yang diajarkan orangtuanya. Anak-anak yang hidup di lingkungan rawan paham radikal perlu diberikan rehabilitasi khusus.
Menurut Ledia, memisahkan anak-anak ini dari orang tuanya bukan solusi. Justru hal ini akan menimbulkan rasa kebencian dan dendam. Solusinya adalah segera direhabiltasi.
“Di UU Perlindungan Anak pasal 59, ada klausul perlindungan khusus. Termasuk anak-anak yang terstigma karena orang tuanya. Mereka berhak mendapat rehabilitasi psikis, sosial dan fisik,” ucap Ledia.
Pengaruh paham radikal ternyata bukan saja turun temurun dari orang tuanya, namun faktor lingkungan turut berkontribusi. “Radikalisme pun bisa timbul dari perangkat gawai yang mereka miliki,” tegasnya.
Diperlukan perhatian khusus jika anak-anak menggunakan alat gawai ini. “Anak bisa mendapatkannya dari mana saja. Bahkan dari media sosial jika ia terpapar terus menerus,” kata Ledia.
Ledia menuturkan Kementerian Sosial memiliki tugas untuk merehabilitasi psikis, sosial, dan fisik anak dari pelaku terorisme ini. “Sementara ini amanatnya ke Kementerian Sosial dengan pekerja sosialnya. Di mereka ada direktorat rehabilitasi anak di bawah ditjen rehabilitasi sosial,” pungkasnya.