Ngelmu.co – Sejarah mencatat, seluruh komponen pejuang kemerdekaan Indonesia tidak ingin melepaskan diri dari peran para ulama di pesantren. Hal ini dibuktikan ketika para pejuang nasionalis seperti Bung Karno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain senantiasa sowan ke KH Muhammad Hasyim Asy’ari dalam memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara.
Meminta nasihat, saran, dan masukan para kiai bagi para pejuang merupakan hal penting karena segala sesuatunya tidak terlepas dari Rahmat dan Ridho Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah. Hal ini relevan dilakukan karena para ulama merupakan manusia yang paling dekat dengan Tuhannya.
Meminta nasihat terjadi ketika Bung Karno, dan kawan-kawan hendak memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Tiga bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno sowan Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Hasyim Asy’ari memberi masukan, hendaknya proklamasi dilakukan hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhur (penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah melalui proses yang panjang dan berdarah-darah dari seluruh elemen bangsa. Selain pertempuran militer dengan pihak penjajah, para pejuang seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbullah, dan tokoh-tokoh lainnya juga melakukan langkah diplomasi. Diplomasi tersebut tidak hanya berhenti di tataran dalam negeri, tetapi juga luar negeri sehingga kemerdekaan Indonesia kala itu langsung mendapat dukungan banyak negara di dunia.
Diplomasi luar negeri dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari sendiri dengan melakukan korespondensi dengan Syekh Al-Amin Al-Husaini. Saat itu, janji kekaisaran Jepang untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini.
Sampai pada 3 Oktober 1944, Choirul Anam (Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 1985) mencatat, Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul Muqadas Yerusalem yang ketika itu juga menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.
Kawat teguran tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar secepatnya mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang 50 juta di antaranya bergama Islam. Kongres Islam se-Dunia menekan Jepang untuk segera mengusahakan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Atas teguran tersebut, Kuniki Koiso berjanji akan mengusahakan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ia selaku Ketua Masyumi menerima tindasan kawat teguran tersebut.
Menyikapi kawat teguran tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari berbagai golongan umat Islam dari sejumlah organisasi pada 12 Oktober 1944.
KH Hasyim Asy’ari selaku pemimpin NU dan Masyumi segera membalas kawat tindasan Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini yang telah membantu bangsa Indonesia dengan menegur Perdana Menteri Jepang Kuniki Koiso tersebut.
Catatan sejarah tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari untuk mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari sisi diplomasi internasional. Selain itu, Kiai Hasyim dibantu para kiai lain juga menyiapkan pasukan santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk mengantisipasi kemungkinan perang pasca kemerdekaan diproklamirkan.
Kemungkinan tersebut terjadi, sebab tentara NICA Belanda yang menumpang sekutu hendak kembali menguasai Indonesia setelah Jepang takluk kepada tentara sekutu. 10 November 1945 di Surabaya merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, di mana para santri dan seluruh rakyat Indonesia berhasil menumpas agresi militer Belanda II sehingga mampu mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan.
Sumber: nu.or.id