Penghitungan suara Pilkada Jabar 2018 di TPS sudah dilakukan. Lembaga-lembaga survei juga telah menginformasikan hasil quick countnya. Ada lonjakan drastis suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik), sekaligus jadi lampu kuning bagi Jokowi. Mengapa demikian?
Berdasarkan data quick count Pilkada Jabar versi LSI hingga pukul 16.16 WIB dengan data masuk 92,89%, tercatat:
Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum: 32,87%.
Tb Hasanuddin-Anton Charliyan: 12,97%<br>
Sudrajat-Ahmad Syaikhu: 28,11%.
Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi: 26,05%.
Berbagai lembaga survei juga mencatat hasil tak jauh berbeda. Jarak antara Rindu dan Asyik selisih 1-3% sehingga masih terlalu dini untuk mendeklarasikan kemenangan. Karena dengan margin of error yang ada, bisa jadi posisinya bisa berbalik.
Tulisan ini bukan untuk membahas siapa yang menang karena memang belum ada pihak yang jadi pemenang. Yang ingin dianalisis adalah meningkatnya suara Asyik. Satu bulan menjelang pencoblosan, “Rindu”masih unggul di papan survei berbagai lembaga.
Survei Indo Barometer menempatkan elektabilitas pasangan Rindu sebesar 36,9% atau terpaut 6,8% dari pasangan Duo DM yang mengantongi 30,1%.
Lembaga Lingkaran Survei Indonesia Network Denny JA menyebut elektabilitas pasangan Asyik hanya sebesar 8,2 persen. Terpaut jauh dari “Rindu” 38,3 persen dan Deddy-Dedi 36,2 persen.
“Jika melihat hasil survei, Hasanah dan Asyik hampir enggak mungkin menang,” ujar Direktur Eksekutif LSI Denny JA, Toto Izul Fatah saat ditemui usai merilis survei di kawasan Jalan Citarum, Kota Bandung, Kamis (21/6).
Tapi jika mengacu pada hasil quick count, prediksi lembaga survei ternama itu tak terbukti. Asyik yang mereka sebut tak lebih dari angka dua digit elektabilitasnya, ternyata hampir mencapai 30%, selisih sangat tipis dari “Rindu”.
Suara Asyik versi quick count ini bahkan mendekati raihan Aher-Deddy Mizwar pada Pilkada Jabar 2013 lalu. Pasangan Aher-Deddy menang dengan perolehan suara sah 6.515.313 atau 32,39 persen.
Ini jelas sebuah sinyal bahaya bagi Jokowi. Karena “Rindu”sudah kadung diketahui salah satu proxy Jokowi. Istana belajar dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Jika head to head, maka jadi pecundang. Lalu disiapkanlah sebanyak mungkin kandidat yang berpotensi menang dan bisa dikendalikan dengan mengikat kontrak politik mendukung Jokowi jadi capres pada 2019. Sosok Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar ada pada titik ini.
Dengan popularitas dan elektabilitas “Rindu” juga Deddy Mizwar ternyata tak mampu membuat Istana menang telak. Salah satu sebabnya bisa diduga karena positioning Asyik yang sejak awal dengan tegas akan mengganti presiden. Jargonnya: #2018AsyikMenang, #2019GantiPresiden. Debat putaran kedua saat Asyik mempertontonkan kaus ganti presiden, dipercaya jadi momentum meningkatnya elektabilitas.
Di sisi lain, waktu yang dimiliki Asyik relatif terbatas. Pasangan ini dibentuk pada akhir Desember 2017, dan baru pada awal Januari 2018 dideklarasikan. Tak banyak publik Jabar yang tahu siapa Sudrajat dan Ahmad Syaikhu. Tapi dalam rentang enam bulan, mereka bisa melejit.
Mesin partai dalam hal ini kader PKS jadi salah satu kuncinya. Jabar dikenal sebagai basis PKS. Dua kali Aher menang tersebab militansi yang dimiliki kader PKS, selain soal ketokohan pasangan Aher yakni Dede Yusuf pada 2008 dan Deddy Mizwar pada 2013. Dan ini kembali diulangi pada Pilkada Jabar 2018.
Ingat, pilpres masih ada sekitar 10 bulan lagi. Agustus nanti akan diketahui siapa capres dan cawapres. Jika kader PKS jadi salah satu kontestan dan waktu yang dimiliki masih cukup panjang, maka Jokowi patut risau. Apalagi tagar #2019GantiPresiden akan terus bergema
Jadi, hasil Pilkada Jabar versi quick count ini, sambil menunggu pengumuman resmi KPU, jadi lampu kuning bagi Jokowi yang bisa menggusurnya dari kursi presiden.
Erwyn Kurniawan
- Jurnalis