Ngelmu.co – Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (3/9/2018) Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat tuntutan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam surat tuntutan tersebut Jaksa menyebut bahwa Syafruddin klaim Megawati Soekarno Putri menyetujui penghapusan hutang Sjamsul Nursalim.
Pembacaan surat tuntutan, jaksa mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Syafruddin. Perbuatan Syafruddin tersebut mengakibatkan kerugian negara Rp 4,58 triliun. Dan adapun perbuatan melawan hukum yang Syafruddin lakukan adalah salah satunya, Syafruddin dinilai melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tahun 2004.
Namun, jaksa KPK tersebut menyebut bahwa Syafruddin mengklaim keputusan penghapusbukuan itu atas persetujuan Presiden ketika itu, Megawati Soekarnoputri, dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 11 Februari 2004.
“Padahal, ratas tidak pernah ambil keputusan untuk penghapusbukuan. Terdakwa tahu dan sadar tidak ada persetujuan presiden, tapi terdakwa menyatakan penghapusan utang Rp 2,8 triliun adalah atas persetujuan presiden,” ujar jaksa I Wayan Riana.
Jaksa KPK mengatakan bahwa pada awalnya, Syafruddin membuat ringkasan eksekutif yang ditujukan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), tentang penghapusbukuan utang petambak yang unsustainable. Akan tetapi, Ketua KKSK Dorodjatun Kuntjoro Jakti meminta agar usul itu disampaikan dalam rapat terbatas di Istana.
Baca juga: Ada Jokowi dan Megawati di Balik Upaya JK untuk Jadi Cawapres Lagi
Selanjutnya Syafruddin menyampaikan usulan itu dalam rapat terbatas. Tapi, dalam pemaparan, Syafruddin tidak memberitahukan adanya misrepresentasi penyampaian utang oleh Sjamsul Nursalim. Maka, sampai akhir rapat, tidak ada keputusan persetujuan mengenai penghapusbukuan utang petambak.
Namun, keesokan harinya, terdakwa kembali membuat ringkasan eksekutif tentang penghapusbukuan utang dan meminta persetujuan KKSK. Padahal terdakwa tahu bahwa Kepala BPPN tidak boleh melakukan penghapusbukuan utang yang masih ada misrepresentasi.
Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Jaksa, menyebut bahwa perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004.
Baca juga: Megawati: Meski Dicaci Maki, Survei PDIP Tertinggi
Menurut jaksa, Syafruddin yang saat itu selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin juga disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal saat itu, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan (misrepresentasi) dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.