Komplotan komunis yang masih berbaju ISDV dibawah asuhan Sneevliet (sejak
1915) ataupun yang sudah mengumumkan diri menjadi PKI yang dipimpin oleh
Semaoeun, Alimin dan Darsono (1920) menerapkan strategi “membangun blok di
dalam organisasi yang ditarget”, sesuai dengan arahan dari Comintern.
Komunisme sebagai idiologi perjuangan melawan imperialis, kapitalis dan
kolonialis memang sedang naik daun pada masa itu. Euphoria semakin menjadi-jadi setelah penguasa Russia, Tsar Nicholas II berhasil diruntuhkan pada 1917 oleh
Revolusi Bolsheviks yang dikobarkan oleh doktrin Marxism-Leninism.
Penyusupan komplotan komunis di wilayah jajahan Hindia-Belanda itu dinilai
sukses dan terbukti menghasilkan faksi SI Merah di Cabang Semarang, hanya
dalam waktu kurang dari dalam enam tahun, lalu bedol desa membawa sebanyak
mungkin personil, aset dan onderbouw Sarekat Islam untuk bergabung dengan PKI
yang baru setahun berdiri.
Sisanya dikenal dengan SI Putih, dan sejumlah sempalan lain semisal Sarekat
Sejati atau Sarekat Rakyat yang masih bertahan dan bertebaran di berbagai kota di
Jawa.
Pada tataran gerakan komunis internasional, kisah penyusupan yang sukses itu
menghantarkan PKI yang masih belia ke posisi yang penting dan disegani oleh
kawan maupun lawan.
Strategi penyusupan yang serupa, menurut catatan Ruth McVey (1965) telah gagal
ketika diterapkan pada Kuo-Min-Tang di Cina.
Kisah sukses penyusupan komplotan komunis itu, dalam pandangan saya, tidak
dapat dilepaskan dari dua critical factors :
PERTAMA, pengekangan dan pembatasan secara hukum dan politik dari penguasa
kolonial Hindia-Belanda, yang berhasil mencegah Gerakan Sarekat Islam menjadi
organisasi berskala nasional.
Izin yang diberikan oleh penguasa kepada Sarekat Islam hanya sebatas sebagai
organisasi lokal dan otonom, maksimum di tingkat kota-kota besar semisal
Semarang, Surabaya atau Bogor.
Dengan perkataan lain, penguasa melakukan strategi bonsai terhadap Gerakan Sarekat Islam yang tingkat partisipasi rakyatnya (nyaris) terbesar pada zamannya bahkan jika dibandingkan dengan belahan dunia lainnya. Catatan penguasa
kolonial menyebut bahwa keanggotaan SI jika digabungkan dapat mencapai 3 juta
orang.
Sarekat Islam yang gerakan mogok buruh-buruhnya ditakuti oleh para kapitalis dan
penguasa kolonial itu hendak dijinakkan dengan berbagai instrumen kekuasaan.
Pembatasan menjadi organisasi-organisasi lokal dan otonom itu diterapkan atas
desakan para kapitalis khususnya dari kalangan industri gula dan transportasi
kereta api.
Sarekat Islam dituduh belum memperlihatkan akuntabilitas organisasi dan keuangan secara meyakinkan, dan tuduhan itu ternyata sejalan dengan provokasi dan fitnah yang dilontarkan komplotan komunis yang sudah membangun blok didalam SI terhadap Centraal Sarekat Islam alias CSI dan para pimpinannya, terlebih-lebih kepada pribadi Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
KEDUA, kegagalan manajemen konflik yang dipakai oleh CSI dalam menghadapi
penyusupan dan perongrongan dari komplotan komunis, yang dinilai oleh sebagian pihak sebagai terlalu mengutamakan kompromi dan akomodasi ketimbang penegakan disiplin organisasi secara efektif.
Salah seorang cucu Tjokroaminoto pernah menuturkan penyesalan atas lambatnya
langkah penegakan disiplin organisasi itu kepada Majalah Tempo beberapa tahun
yang lalu.
Anton Timur Djaelani (1959) mencoba menjelaskan bahwa pilihan akomodasi dan
kompromi oleh Tjokroaminoto itu terkait dengan kekuatan blok di dalam yang
sudah terkonsolidasi dengan kuat dan mapan.
Sikap akomodatif itu diantaranya tercermin dalam risalah “Islam dan Sosialisme” ,
yang khabarnya ditulis untuk menjawab tuduhan mengenai ketiadaan manhaj
Islami dalam melawan imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme.
Pada tataran politik yang lebih praktikal, Tjokroaminoto melakukan manuver
mundur dari keanggotaan di Volksraad , sebuah quasi parliament yang baru saja
dibentuk oleh penguasa kolonial dalam rangka menjalankan Politik Etis hasil
kampanye kelompok-kelompok oposisi dari negeri asalnya, Belanda.
Manuver melepaskan diri dari Volksraad itu diambil untuk menjawab tuduhan
bahwa Sarekat Islam masih melirik strategi cooperatie yang dihujat oleh
komplotan komunis pada masa itu sebagai sikap para kolaborator dan antek
kolonial. Mereka menghendaki SI menempuh jalan non-cooperatie.
Keputusan Kongres Keenam di Surabaya (1921) yang diambil melalui
pemungutan suara dan diterima oleh mayoritas pemegang suara dalam Konggres
itu, secara tegas jelas menyatakan bahwa : (1) tidak ada tempat bagi komunisme
dalam idiologi organisasi, (2) melarang keanggotaan ganda SI dengan PKI dan
organisasi lainnya, (3) menerapkan kewajiban baiat ulang bagi seluruh anggota.
Semaoeun, Alimin dan Darsono segera bergerak cepat memboyong sebanyak
mungkin personil, aset organisasi dan berbagai serikat buruh yang selama ini
menjadi onderbouw Sarekat Islam Cabang Semarang untuk dijadikan sebagai
bagian dari PKI yang baru berumur setahun itu. SI Merah telah melepaskan jubah Islamnya, mengumumkan jati diri sebagai
komunis.
Nastaghfirullaha wa natubuu ilaihi jamiaan
22/08/2018
SMS