Ngelmu.co – Per 10 Oktober 2018 kemarin, harga Pertamax Series kembali mengalami kenaikan. Kenaikan Pertamax Series cukup tinggi. Tentu saja kenaikan harga Pertamax Series membuat perbedaan nilai jual BBM jenis ini dengan Premium semakin jauh. Harga Pertamax kini terpaut sekitar Rp4000-an dari nilai jual Premium.
Sebeljmnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan sempat mengumumkan harga Premium akan naik menjadi Rp6.900-Rp7000. Namun, kenaikan itu ternyata batal. Pertamina maupun Kementerian BUMN menyatakan bahwa pembatalan dilakukan karena mempertimbangkan daya beli masyarakat dan risiko dampaknya ke inflasi. Harga premium yang merupakan bensin termurah itu pun masih Rp6.550 per liter untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Sedangkan untuk luar Jamali, harga Premium Rp6.450 per liter.
Harga Pertalite, yang merupakan “jembatan” antara Premium dan Pertamax, harganya tetap Rp7.800-Rp8.150. Sedangkan untuk harga baru Pertamax, yang mengalami kenaikan saat ini berada pada kisaran Rp10.400 sampai Rp10.800 per liter. Harga Pertamax Turbo: Rp12.250 hingga Rp15.750 per liter.
Karena perbedaan harga yang jauh itu, memunculkan kemungkinan semakin banyak konsumen memilih Premium sebagai BBM pilihan. Namun, berdasarkan info yang dikumpulkan Tirto dari sejumlah konsumen, Premium selama ini susah ditemui di banyak SPBU pada sejumlah kota di Pulau Jawa, termasuk Jakarta.
Baca juga: Sempat Naik, Akhirnya Pemerintah Batalkan Kenaikan Harga Premium
Sebenarnya setelah Perpres Nomor 43 tahun 2018 terbit, pemerintah sudah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk mendistribusikan Premium di Jawa, Madura dan Bali (Jamali) sejak Juni lalu. Sebelumnya, Pertamina cuma mendapat penugasan penyaluran Premium di luar wilayah Jamali. Adapun turunan Perpres 43/2018 adalah Kepmen ESDM Nomor 1851 K/15/MEM/2018 dan Surat Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 18/P3JBKP/BPH MIGAS/KOM/2018.
Aturan tersebut memberi tugas kepada Pertamina untuk menyalurkan Premium pada 2.090 SPBU di wilayah Jamali. Selanjutnya, BPH Migas meminta penyaluran Premium di 2.090 SPBU terealisasi paling lambat 15 Juni 2018. Dari 2.090 SPBU itu, 571 di antaranya yang semula tidak lagi menjual Premium. Setelah ada penugasan dari BPH Migas, 571 SPBU itu harus kembali menjual Premium mulai Juni 2018 lalu.
Namun, keluhan konsumen masih sering terdengar. Banyak konsumen yang mengeluh sulit untuk mendapatkan Premium di daerahnya. Keluhan itu datang dari berbagai kota, termasuk Jakarta, padahal di daerah-daerah itu banyak beroperasi SPBU yang menyalurkan bensin dari Pertamina.
Misalnya, warga Kota Semarang, Jawa Tengah, mengaku hanya sesekali bisa mendapatkan Premium yang susah didapatkan. Ternyata ada SPBU yang menjual Premium, tapi di hari tertentu saja atau bisa dikatakan Premium yang dijual dibatasi.
Berdasarkan dari data Kementerian ESDM, untuk Kota Semarang, ada 63 SPBU yang menjual BBM dari Pertamina. Empat SPBU di antaranya adalah milik PT Pertamina Retail atau SPBU COCO. Sisanya SPBU itu dimiliki swasta. Dari data resmi lainnya, seharusnya ada 13 SPBU yang harus kembali menjual Premium di Kota Semarang sejak Juni lalu.
Di Kota Salatiga, Jawa Tengah, konsjmen mengaku menemukan SPBU yang juga melakukan pembatasan serupa. Menurut konsumen, di Salatiga susah dapat Premium, hanya ada di beberapa SPBU. Dan biasanya Premium hanya ada pada Senin atau Kamis. Dari data Kementerian ESDM, tercatat ada delapan SPBU penyalur bensin dari Pertamina di Salatiga dan merupakan milik swasta.
Baca juga: Jonan Bisa Dikenakan Pasal Hoax
Konsumen di Kota Depok, Jawa Barat, juga kesulitan saat berusaha mencari Premium di sejumlah SPBU. Didapatkan informasi, hampir semua sepanjang jalan Margonda susah. Pada awal tahun 2018 masih lumayan mudah mendapatkan Premium, namun, 3 bulan terakhir Premium di Depok sudah langka. Diketahui di Kota Depok, berdasarkan data Kementerian ESDM, sebenarnya terdapat 43 SPBU penyalur BBM dari Pertamina. Ada dua unit di antaranya adalah SPBU milik Pertamina Retail.
Tak ketinggalan konsumen di Jakarta. Kesulitan mencari Premium juga dialami konsumen di Jakarta. Konsumen di Jakarta mengaku sering susah mendapatkan Premium itu karena banyak SPBU tidak menjualnya. Berdasarkan data Kementerian ESDM, Pertamina Retail memiliki setidaknya 25 SPBU di seluruh wilayah DKI Jakarta yang salah satunya beralamat di Jalan Rasuna Said. Untuk jumlah SPBU penyalur BBM dari Pertamina di ibu kota, yang sebagian besar milik swasta, totalnya 280-an unit.
Untuk wilayah Yogyakarta, pengelola SPBU COCO Pertamina Adisucipto mengaku memang tak lagi menjual Premium sejak 10 bulan terakhir. Hal ini disampaikan Kepala SPBU COCO Pertamina Adisucipto, Ruben Situmeang.
Ruben berdalih bahwa SPBU itu berlokasi di kawasan strategis dan daya beli para warga di sekitarnya cukup tinggi sehingga Premium tidak lagi perlu dijual. Menurut Ruben, memang masyarakat di wilayah itu sekarang carinya Pertalite.
Ruben juga mengatakan bahwa keputusan untuk tidak lagi menjual Premium didasari tujuan mendorong banyak konsumen beralih ke Pertalite. Ruben menyatakan bahwa keputusan tersebut sudah sesuai dengan instruksi Pertamina. Menurut Ruben, walaupun pemerintah sudah menugaskan penyaluran Premium, penjualan Premium tetap perlu didasari tingkat permintaan.
Saat diminta klarifikasi soal keluhan konsumen, External Communication Manager PT Pertamina, Arya Dwi Paramita membantah bahwa stok maupun waktu penjualan Premium di SPBU-SPBU penyalurnya dibatasi. Arya mengklaim mayoritas konsumen di beberapa daerah sudah beralih ke Pertalite.
Menurut Arya, pada umumnya, konsumen sudah mulai cerdas memilih bahan bakar untuk kendaraannya, karena menyesuaikan dengan rekomendasi pabrikan mesin. Sehingga pihaknya tentu lebih banyak menyediakan produk yang diminati, yaitu Pertalite.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Muda (UGM), Fahmy Radhi mengatakan bahwa jumlah peminat Premium masih tinggi, apalagi perbedaan harga yang jauh antara Pertalite dan Premium.
“Realita yang ada seperti itu, sehingga impor Premium itu paling besar,” kata Fahmy.
Fahmy mencatat saat Pertamina pertama kali meluncurkan Pertalite dengan harga tidak jauh dari Premium, banyak orang beralih membeli Pertalite itu secara sukarela. Akan tetapi, peralihan ini terhambat saat harga Pertalite dinaikkan dan berjarak lumayan jauh dari nilai jual Premium.
Menurut Fahmy, Pertamina tetap harus menjalankan tugasnya menyediakan Premium di seluruh wilayah Indonesia. Jika pihak Pertamina melanggar, kata Fahmy, mestinya ada sanksinya, kalau terbukti.
Fahmy berpendapat bahwa upaya mendorong peralihan ke Pertalite dengan membatasi penjualan Premium pada sejumlah SPBU tidak bisa dibenarkan. Sebab, kata Fahmy, pada prinsipnya, peralihan dari Premium ke Pertalite atau Pertamax harus dilakukan secara sukarela oleh konsumen. Untuk mendorong peralihan ke Pertalite dan Pertamax, Fahmy mengatakan bahwa sebaiknya Pertamina memakai cara-cara kreatif.
Fahmy mengakui bahwa kenaikan harga Premium bisa mendorong konsumen lebih memilih Pertalite atau Pertamax mengingat disparitas harga menjadi lebih kecil. Akan tetapi, Fahmy mengingatkan bahwa kenaikan harga Premium berisiko serius karena akan mengerek inflasi dan memperlemah daya beli masyarakat.