Sebait sumpah itu kini sudah berusia 90 tahun. Sepertinya baru kemarin secarik kertas itu berpindah tangan dengan cepat. Setelah Mohammad Yamin menggoreskan untaian bait di atasnya, dia segera memberikannya kepada Ketua Kongres Pemuda II Soegondo Djojopoespito.
Yamin lalu berbisik kepada Soegondo, “Saya punya rumusan resolusi yang elegan,” katanya sambil memberikan lembaran kertas bersejarah tersebut.
Sang ketua langsung membaca tulisan di atas kertas dari Yamin. Lalu dia memandang Yamin dan dibalas dengan dengan senyuman. Soegondo memparaf rancangan dari Yamin tanpa komentar. Selembar kertas itu lalu sang ketua teruskan ke Amir Sjarifuddin yang sempat bingung. Dipandanginya Soegondo dengan tatapan bertanya-tanya. Soegondo kemudian menjawab dengan anggukan.
Amir pun memberikan paraf setuju. Kemudian diikuti dengan persetujuan pula dari seluruh utusan organisasi pemuda. Awalnya, perjanjian itu bernama Ikrar Pemuda, lalu Yamin mengubahnya menjadi Sumpah Pemuda, yang isinya:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Keinginan anak-anak muda untuk menyatukan Indonesia yang beragam begitu kuat kala itu. Dalam rapat marathon yang digelar Sabtu sore hingga Ahad malam, 27-28 Oktober 1928, berbagai utusan hadir. Dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lainnya.
Di usianya yang ke-90 tahun, sebait ikrar itu seperti kehilangan elan vitalnya. Semangat anak-anak muda kala itu bagai tak berbekas. Alih-alih menyatukan bangsa, segelintir pemuda masa kini justru jadi sumber disintegrasi. bertikai, anarkis dan memprovokasi untuk kepentingan sekelompok orang.
Ingat bagaimana konflik antar suporter sepakbola berujung maut? Pelakunya banyak anak muda!
Ingat bagaimana aksi membela Ahok saat di penjara Cipinang? Berdemo hingga malam, membakar ban dan merobohkan pagar. Pelakunya mayoritas anak-anak muda!
Ingat bagaimana persekusi terhadap para ulama dan tokoh masyarakat? Wajah-wajah mereka masih muda!
Terkini, anak-anak muda pula yang membakar Bendera Tauhid di Garut, Jawa Barat.
Tak semuanya salah pemuda. Mereka adalah korban dari sekelompok elit yang mengunakan cara-cara Machiavelli untuk berkuasa. Tak peduli halal haram. Menghiraukan darah, nyawa dan air mata tumpah di atas bumi pertiwi. Mengacuhkan terkoyaknya tubuh bangsa ini.
Tapi yakinlah, negeri ini tak akan mampu mereka pecah-belah. Karena masih banyak anak-anak muda yang terus mematri semangat Sumpah Pemuda didalam jiwanya. Menolak senja kala Sumpah Pemuda.
Meski usaha-usaha untuk meluluhlantakkan bangsa ini begitu nyata. Berharap pecah berkeping-keping dalam waktu singkat, secepat Yamin memindahkan secarik kertas kepada Soegondo, 90 tahun silam.
Erwyn Kurniawan