Ngelmu.co – Lion Air, selama ini memiliki citra yang buruk. Sebab, selain kerap terlambat atau delay, pesawat Lion Air juga cukup sering mengalami kecelakaan dan melakukan pelanggaran.
Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 ditemukan jatuh di perairan Karawang setelah sebelumnya dikabarkan hilang kontak setelah mengudara hanya selama 13 menit.
“Lokasi sudah ditemukan,” kata Humas Basarnas, Sinaga, Senin (29/10/2018), dikutip dari Detik.
Kecelakaan pesawat itu mengingatkan pada rangkaian insiden kecelakaan yang kerap terjadi pada maskapai ini. Seperti pada Sabtu, 13 April 2013, Pesawat Lion Air jenis Boeing 737-80 NG dengan nomor penerbangan JT-904 rute Bandung-Denpasar jatuh di laut dekat Bandara Ngurah Rai, Bali.
Kemudian, Kamis, 19 Februari 2015 terjadi keterlambatan puluhan penerbangan Lion Air yang menyebabkan terlantarnya ratusan penumpang. Kementerian Perhubungan menjatuhkan sanksi penghentian rute baru untuk Lion Air. Sanski ini dinilai terlalu ringan oleh banyak pihak.
Aksi mogok yang dilakukan pilot Lion Air pada Selasa, 10 May 2016 membuat Kemenhub menjatuhkan larangan pembukaan rute baru selama enam bulan. Hari itu terjadi delay panjang yang merugikan penumpang.
Kemenhub juga memberikan sanksi yakni pembekuan ground handling Lion Air di Bandara Cengkareng karena pada hari yang sama ada insiden bus salah masuk terminal. Namun Lion Air malah melaporkan balik Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub ke Polri dan DPR. Sanksi pun tidak jadi diberikan.
Baca juga: Lion Air dalam Pusaran Kecelakaan, Pelanggaran dan Sanksi
Pada tanggal 21 Januari 2014, Pesawat Lion Air jurusan Surabaya-Kupang mendarat darurat di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali, akibat cuaca buruk. Selain itu, tanggal 4 Juni 2014, salah satu pesawat Lion Air gagal mendarat di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu, sekitar pukul 14.35 WITA, akibat angin kencang yang mengganggu pendaratan pesawat jenis Boeing tersebut.
Pada Bulan April 2017 lalu ada dua insiden besar yang dialami Lion Air. Pertama tumpahnya bahan bakar (overfill) di Bandara Juanda dan terjadinya penundaan jadwal penerbangan di beberapa bandara, termasuk Pontianak dan Bandara Cengkareng. Kemudian, Senin 30 Oktober 2017 (hampir setahun lalu), Pesawat Lion Air nomor penerbangan JT – 903 mengalami kecelakaan di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali. Pesawat type B-737-900ER batal terbang karena sayapnya penyok tertabrak anak tangga yang akan dipasang oleh karyawan PT EAS.
Sementara itu, untuk kasus keterlambatan atau delay yang tercatat parah terjadi pada Minggu, 31 Juli 2016. Saat itu, lima penerbangan Lion Air terlambat sampai belasan jam. Ratusan penumpang menjadi terlantar di Bandara Soekarno-Hatta. Tentu saja, para penumpang emosi dan sempat meluapkan kemarahannya sampai memblokir landasan pesawat maskapai itu di Terminal 1A. Kelima penerbangan yang terlambat itu adalah untuk tujuan Banjarmasin, Bengkulu, Lombok, dan dua penerbangan ke Surabaya. Tak hanya penumpang di Bandara yang emosi, masyarakat luas, melalui media sosial juga ikut meluapkan kekesalannya karena mereka juga punya pengalaman menunggu berjam-jam akibat penerbangannya terlambat.
Hal itu membuat berbagai istilah yang memelesetkan nama Lion Air muncul di media sosial, mulai dari “Lie on Air, We Make People Cry” hingga “Delayion Air, We Make People Delay” yang jauh berbeda dengan tagline asli maskapai itu, We Make People Fly. Memang, kejadian terlambat belasan jam bukan yang pertama kali. Sebelumnya dan sampai saat ini, Maskapai yang dipimpin Rusdi Kirana ini memiliki rekam jejak panjang dalam hal keterlambatan, bukan hanya di Soekarno Hatta, tetapi juga bandara-bandara lain di Indonesia.
Baca juga: Jenis Pesawat Baru dan Laik Terbang, Mengapa Lion Air Kecelakaan?
Sayangnya, meskipun dihujat karena sering terlambat dan beberapa kali mengalami kecelakaan, maskapai berlogo singa merah ini masih menjadi raja di pasar maskapai Indonesia. Hal itu memiliki arti mayoritas pengguna pesawat terbang masih membeli tiket Lion Air untuk melakukan perjalananya.
Tiket Lion Air masih laris manis. Lion Air tercatat menguasai hampir setengah pasar penerbangan komersil. Pada tahun 2015, angka penjualan tiket Lion Air mencapai 41,6 persen. Sementara itu, Garuda Indonesia hanya 23,5 persen. Di posisi selanjutnya, ada Sriwijaya Air dengan pangsa pasar 10,4 persen. Kemudian, disusul Citilink 8,9 persen, Wings Air 4,7 persen, dan Air Asia Indonesia 4,4 persen. Terlihat sangat jelas, selisih pangsa pasar yang cukup jauh antara Lion dan maskapai lainnya.
Pangsa pasar Lion dan Garuda yang begitu besar dan jauh di atas pesaing lainnya, membuat maskapai lainnya cukup sulit untuk mengejar. Dengan jumlah armada paling banyak, harga tiket yang murah, dan memiliki rute penerbangan paling variatif, Lion tampaknya akan tetap memimpin pasar, meskipun terus-terusan delay dan cukup seringnya kecelakaan terjadi. Lion Air hanya bisa berhenti menjadi raja udara jika para konsumen sepakat tak lagi menggunakan maskapai ini, meskipun harganya murah.