Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 membawa gelombang angin segar baru bagi pesta demokrasi Indonesia. Pemilu serentak kali ini dilakukan bersama-sama dalam menentukan puncak kepemimpinan eksekutif dan anggota legislatif yaitu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.
Masyarakat harus bersiap diri tidak hanya memilih pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan pemimpin negeri ini selama lima tahun mendatang, namun juga menentukan para wakil rakyat dari 16 partai politik peserta pemilu 2019.
Dewasa ini hingga setidaknya tiga bulan ke depan, setiap partai politik maupun calon anggota legislatif akan berusaha menunjukkan kampanye kreatif dan alternatif kebijakan terbaik kepada publik. Selain itu, partai politik juga akan memperlihatkan kondisi organisasi yang baik, budaya solid dan berbasis ideologis yang kuat, maupun profesionalitas internalnya masing-masing. Tak terkecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapatkan nomor urut delapan dalam pemilu 2019 ini.
Partai yang telah menginjak usia dua dekade ini cukup diperhitungkan dengan perolehan kursi DPR yang cukup signifkan sejak awal kemunculannya, yaitu 1,36% (1999); 7,34% (2004); 7,88% (2009); dan 7,14% (2014). Secara historis, PKS selama ini telah dikenal sebagai Parpol papan tengah di jajaran legislatif Indonesia. Namun semakin mendekati momen Pemilu serentak 2019, partai dakwah ini justru dinilai sejumlah lembaga survei sulit untuk menembus ambang batas parlemen.
Berdasarkan UU No 7 tahun 2017, parliamentary threshold untuk Pemilu 2019 adalah 4 persen atau minimal sekitar lima juta suara nasional. Dalam survei LIPI pada 19 April-5 Mei 2018, PKS hanya mendapatkan 3,7% suara responden. Selain itu, survei LSI Denny JA pada 28 April-5 Mei 2018 memperlihatkan perolehan suara PKS hanya 2,2% persen.
Namun di sisi lain, survei Poltracking Indonesia pada 27 Januasi-3 Februari 2018, suara PKS sebesar 4,6% dan masih memungkinkan untuk lolos ke DPR. Atas dasar berbagai lembaga survei di atas, partai berlambang bulan sabit kembar dan padi ini seolah tidak mampu mendudukkan kadernya di kursi DPR pada Pemilu 2019 mendatang.
Selama beberapa tahun terakhir, PKS memang mendapatkan stereotype tertentu yang dianggap buruk dan cukup viral di tengah masyarakat maupun media sosial—antara lain kasus korupsi yang menyeret mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq menjelang Pemilu 2014 lalu maupun mantan Presiden PKS Nur Mahmudi Ismail pada bulan Agustus tahun ini, diidentikkan dengan sistem khilafah yang dianggap bertentangan dengan demokrasi ataupun NKRI, sekaligus Parpol yang dinilai sok suci, anti kafir, tidak pro dengan kebhinnekaan, serta membawa-bawa agama ke dalam dunia politik. Isu kekisruhan dan konflik perpecahan internal partai berbasis kader inipun sempat mewarnai pemberitaan nasional selama beberapa bulan belakangan. Kesemuanya pada akhirnya bermuara pada satu wacana: jangan pilih PKS di Pemilu 2019!
Padahal PKS termasuk Parpol dengan jumlah kader paling sedikit (1 orang) yang diciduk KPK selama periode 2014-2017 dibandingkan dengan Golkar di peringkat pertama (9 orang) maupun PDIP yang menyusul setelahnya (7 orang) sebagai partai terkorup. Selain itu, hasil survei Cyrus Network pada 27 Maret-3 April 2018 tidak jauh berbeda memperlihatkan bahwa persepsi publik atas partai terkorup adalah Golkar (25%) dan PDIP (8,7%). Di sisi lain, koalisi partai pengusung pasangan Presiden Wakil Presiden nomor urut dua dipersepsikan publik tidak banyak melakukan korupsi yaitu PAN (1,5%), PKS (1,1%), dan Gerindra (0,7 persen). Indonesia Corruption Watch (ICW) sendiri pada 2015 lalu bahkan menegaskan PKS menjadi Parpol paling kooperatif dalam melakukan transparansi laporan keuangan partai di antara Parpol lainnya. Dalam konsolidasi nasional dalam mempersiapkan Pemilu Serentak 2019, PKS juga menghadirkan KPK RI untuk memberikan bekal kepada para caleg dan tim pemenangan agar terus menjadi partai yang berintegritas.
Sebagai salah satu Parpol peserta pemilu di Indonesia, PKS telah membuktikan kecintaannya terhadap NKRI dengan terlibat aktif dalam pesta demokrasi di Indonesia. PKS juga telah dikenal selama ini sebagai salah satu partai dengan sistem kaderisasi yang baik sehingga berisikan anggota berusia muda, beragam, namun tetap terjalin ikatan kuat dari seluruh 34 provinsi di Indonesia. Partai ini pula mampu menjadi garda terdepan dalam membantu pemulihan pada setiap bencana alam dan tragedi kemanusiaan, maupun pada saat tradisi budaya yang telah mengakar seperti posko mudik setiap tahunnya.
PKS sebagai salah satu, bukan satu-satunya, partai bernafaskan Islam selama ini juga telah berusaha memperlihatkan Pancasila sebagai dasar Negara yang mampu menjadi wadah agar nilai kebaikan dari setiap agama berbuah kebijakan publik. PKS berusaha memperlihatkan agama dan politik bukan sebagai polarisasi dari dua kutub ekstrim yang bertentangan, namun mampu untuk berjalan beriringan dan memberikan kebermanfaatan.
Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman dalam momen upacara peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini menyebutkan bahwa jika Pancasila bersemayam dalam jiwa seluruh rakyat maka tidak relevan kalau masing-masing individu ataupun kelompok saling klaim dan saling gugat komitmen moral terhadap Pancasila.
Dalam upaya mengutuhkan kembali loyalitas kader atas organisasi, PKS memang sedang melakukan pembenahan secara internal. Dalam setiap organisasi, perubahan secara internal sejatinya bertujuan untuk mendorong percepatan derap langkah dalam mencapai tujuan-tujuannya. Dinamika yang terjadi pada tubuh PKS merupakan salah satu titik penting dalam proses pendewasaan sebuah tata kelola organisasi dan justru tidak semakin membuatnya terpuruk.
Secara historis, PKS sudah memiliki kekuatan internal yang senantiasa dijaga dengan baik secara figur dan struktur. Adanya organisasi Majelis Syuro yang memiliki jabatan Ketua dan Wakil Ketua merupakan struktur utuh dalam melengkapi dan menyeimbangkan amanah seorang Presiden PKS. Di sisi lain, sistem pengkaderan PKS sudah terbukti mampu melahirkan sumber daya manusia terbaik dalam memberikan pembangunan bagi bangsa dan Negara Indonesia.
PKS selama ini memang tidak berhasil mengusung kadernya sebagai salah satu calon pasangan Presiden-Wakil Presiden, namun partai ini selalu berhasil menunjukkan sikap pantang menyerah, tidak bergantung dengan “coat tail effect” dan itu dibuktikan melalui prestasi perolehan kursi wakil rakyat negeri ini sejak awal PKS masuk dalam percaturan politik nasional.
Fakta ini menegaskan bahwa PKS sejatinya tidak perlu khawatir dengan berbagai goncangan dan badai ujian baik eksternal maupun internal. Karena, sungguh, bahtera PKS tetap mampu berlayar maju, berkembang, dan bisa terus berkhidmat bersama rakyat.
Dr. Arief Munandar
(Doktor Sosiologi Politik dan Organisasi Universitas Indonesia)