Sebagai bahtera politik yang mulai melayari samudera demokrasi Indonesia pasca Reformasi 1998, tampaknya ujian demi ujian tak kunjung usai mendera Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang terlahir dengan nama Partai Keadilan (PK). Pasca Pemilu 1999, PK harus menelan pil pahit tidak lolos ambang batas elektoral, sehingga terpaksa membubarkan diri, lalu menyerahkan tongkat estafet kepada PKS.
Terlihat jelas bahwa partai ini diawaki para aktivis tulen yang ligat merespon krisis. Para kader di herbagai jenjang tak butuh waktu lama untuk move-on dari kekalahan, sehingga transisi dari PK ke PKS berlangsung mulus. Bahkan seolah kita melihat fenomena curse to blessing, kutukan yang berubah menjadi berkah.
Publik politik Indonesia kemudian mencatat meroketnya kinerja PKS dalam pileg 2004. Diferensiasi partai ini, yang tersimpul dalam motto “bersih, peduli, profesional,” kerap disebut-sebut sebagai faktor utama yang membuat publik jatuh hati. Massa PKS dikenal militan namun tertib dalam menggelar sejumlah demo yang menyuarakan kepedulian terhadap isu-isu kebangsaan dan keumatan. Kader-kadernya juga tercatat selalu terdepan hadir memberikan bantuan di daerah-daerah bencana. Di samping itu, kesederhanaan gaya hidup para kader PKS, serta kapasitas intelektual mereka, menggenapkan simpati masyarakat terhadap partai bulan sabit kembar ini. Mungkin publik cukup kepincut oleh tampilan merakyat tujuh aleg PK hasil Pileg 1999, di tengah gemerlapnya para aleg partai-partai lain.
Namun kemudian, di mata sebagian kalangan, diferensiasi tersebut memudar, beriringan dengan muncul dan menguatnya gejala-gejala pragmatisme. Perlahan-lahan PKS dianggap tak jauh berbeda dengan partai-partai lain. Berbagai isu, seperti mahar politik yang kelewat mahal bagi calon-calon pejabat publik yang ingin diusung, perburuan rente, hingga partai terbuka, menjadi pembicaraan ramai di publik. Menyertai isu pragmatisme tersebut, menyeruak pula dugaan faksionalisasi di tubuh PKS. Sementara kalangan menyederhanakannya menjadi “faksi keadilan” yang puritan versus “faksi kesejahteraan” yang progresif.
Dikotomi “faksi keadilan-faksi kesejahteraan” memang terlampau menyederhanakan. Namun demikianlah mata dan logika publik memaknai gejala-gejala yang mengemuka. Bahkan publik cukup fasih menyebut nama tokoh-tokoh PKS yang dianggap merupakan representasi masing-masing faksi.
Dalam riset saya tahun 2009-2011, beberapa narasumber internal mengonfirmasi menghangatnya dinamika di tubuh PKS. Sekelompok kader yang jengah dengan menguatnya pragmatisme, bersuara lantang. Sebagian dari mereka berhimpun dalam Forum Kader Peduli (FKP), yang berujung pemecatan, atau pengunduran diri. Namun bagian yang lebih besar dari kelompok ini tetap berada di dalam, bergreliya menjaga otentisitas Partai Dakwah yang mereka yakini.
PKS terus berdinamika, sejalan dengan dinamisnya panggung politik nasional. Pasca Sidang Majelis Syura pertengahan 2015 silam, arah angin di PKS berubah. Salim Segaf Al Jufri-Sohibul Iman terpilih menjadi nahkoda PKS, sebagai Ketua Majelis Syura dan Presiden Partai. Duet ini terlihat ingin mengembalikan citra PKS yang terekam dalam memori kolektif publik di sekitar tahun 2004: parpol yang lurus dan tidak rakus. Langkah tersebut memang tidak mudah. Kurang-lebih sepuluh tahun PKS dikemudikan dengan gaya, bahkan paradigma, yang berseberangan.
Sebagai kendaraan politik, PKS terlalu seksi untuk dilepaskan. Bagaimana tidak? Partai ini dihuni oleh ratusan ribu kader militan, yang diikat oleh sistem kaderisasi yang kokoh. Wajar jika kader-kader yang menikmati priviledge di bawah rejim lama, menunjukkan resistensi, yang kemudian menjelma menjadi perlawanan terbuka. Seorang kader yang mewakili PKS menjadi salah unsur pimpinan di Senayan, dijadikan pemantik, sekaligus ikon perlawanan. Strategi playing victim dimainkan. Dibangun kesan bahwa sang kader menjadi korban kezaliman rejim otoriter. Fakta bahwa pemecatan tersebut sekedar ujung dari proses panjang berbulan-bulan, yang berpangkal pada pelanggaran terhadap Konstitusi Partai, berusaha dikaburkan sedemikian rupa. Bahkan, tuntutan perdata sang (mantan) kader dikabulkan Pengadilan, sehingga Pimpinan PKS sebagai tergugat diharuskan membayar ganti rugi 30 milyar rupiah.
Gejolak tak berhenti sampai di situ. Sejumlah sohib sang mantan kader mengundurkan diri dari pencalonan sebagai legislator dari PKS. Mereka kemudian mendeklarasikan sebuah ormas yang diklaim menawarkan arah baru bagi negeri ini. Menariknya, ormas tersebut muncul hanya beberapa bulan menjelang Pemilu 2019. Lebih menarik lagi, beberapa inisiatornya terang-terangan bermanuver mendukung paslon nomor 1 di Pilpres yang akan datang, bahkan menjadi anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) paslon tersebut. Ada pula kepengurusan tingkat chapter yang menyatakan dukungan kepada paslon nomor 1 secara institusi. Pengurus Pusat berdalih bahwa setiap chapter bebas menentukan sikap.
Bisa dipahami jika mereka yang percaya bahwa politik adalah tentang kolaborasi kepentingan dan tawar harga, menyimpulkan bahwa manuver sejumlah mantan kader PKS tersebut tak bisa dilepaskan dari kekuatan luar, tangan-tangan super-kuat, yang ingin menghancurkan PKS, sekaligus melanggengkan kekuasaannya di negeri ini. Spekulasi tersebut sangat masuk akal, karena pasca Pemilu 2014 PKS setia menemani Gerindra dalam barisan oposisi, setelah partai-partai lainnya memilih balik kanan, lalu merapat ke istana. Di samping itu, sesat pikir warisan Snouck Hurgronye tampaknya masih bersemayam di alam bawah sadar beberapa kalangan di negeri ini, sehingga merasa terancam oleh PKS yang dianggap mengusung Islam politik.
Lalu, apakah gelombang yang terakhir ini akan menghempaskan bahtera PKS? Rasanya tidak. Perjalanan panjang, setidaknya sejak 1998, telah menyajikan serenceng bukti tak terbantahkan bahwa PKS bukan cuma singkatan dari Partai Keadilan Sejahtera, namun juga Partai Kader Sejati. Sejak awal kelahirannya, PKS enggan bersandar pada ketokohan individu. Yang dibangun dengan penuh ketekunan adalah sistem kaderisasi yang relatif kokoh.
Intuisi saya mengatakan, pihak-pihak yang menskenariokan kehancuran PKS akan kembali gigit jari.
Konspirasi mereka justru memicu konsolidasi yang masif, yang bermuara pada kristalisasi militansi para kader PKS. Apalagi mereka yang pergi dinilai punya paradigma berpolitik yang berseberangan dengan citra PKS sebagai Partai Dakwah, di samping menunjukkan standar ganda dalam bersikap. Misalnya, seorang mantan kader tersebut, ketika menjadi narasumber penelitian saya tahun 2010 silam, dengan tegas mengatakan bahwa di sebuah organisasi sebesar PKS sangat wajar terdapat perbedaan pendapat, bahkan konflik yang tajam. Namun ketika Majelis Syura sudah memutuskan, perbedaan tersebut berakhir, karena semua kader harus taat. Mantan kader yang lain dalam wawancara untuk penelitian yang sama menyampaikan kritik pedas kepada FKP. Menurutnya, seorang kader PKS seyogianya mengedepankan musyawarah, bukan malah menyampaikan ketidak-setujuan dengan berteriak-teriak di luar.
Saya yakin, sekali lagi publik akan menyaksikan kemampuan PKS untuk mengubah curse to blessing. Ini lebih pantas dinantikan ketimbang imaji tentang arah baru yang tak jelas di mana letak kebaruannya.
Arief Munandar
Pengamat Politik Islam & Sosiolog UI