Ngelmu.co, SURABAYA – Pakar sejarah sekaligus Guru Besar Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Prof Dr Aminuddin Kasdi menyebut Nahdlatul Ulama (NU) saat ini sedang terjebak dalam politik komunis.
Hal itu disampaikan dirinya saat menjadi pemateri dalam bedah buku “NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan, Siapa Bertanggungjawab” karya sejarawan NU Drs H Choirul Anam di Graha Astranawa Surabaya, Selasa (26/2/2019) lalu.
Seperti dikutip Ngelmu.co dari duta.co pada Kamis (28/2/2019), Prof Aminuddin mengatakan, buku tersebut erupakan refleksi sejarah kelam yang pernah dialami NU dalam pusaran kekuasan yang terulang kembali.
Dia mengungkapkan bahkan bisa jadi lebih parah dari tahun 1963-1965 di mana NU waktu itu harus ikut masuk dalam paham Nasakom (Nasionalis, Agamis dan Komunis).
Aminuddin mengatakan tanda yang sudah muncul ke permukaan, memang sedikit ada kemiripan.
Misalnya, kata dia, kalau dulu ada land reform, sekarang juga ada bagi-bagi sertifikat tanah.
“Dulu untuk menciptakan konflik di akar rumput (revolusi sosial) menggunakan istilah tujuh setan desa penguasa tanah. Sehingga kemudian Barisan Tani Indonesia dipersenjatai, sehingga pecah peristiwa G 30 S/PKI 1965,” kata dia.
Aminuddin mengungkapkan saat ini menggunakan propaganda Rusia di mana kebohongan yang diulang-ulang diharapkan bisa menjadi kebenaran.
Dirinya mengingatkan bahwa PKI dulu menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu tapi setelah bersatu akan diganti dengan ideologi Marxisme.
“Kebangkitan neo PKI itu nyata adanya, saya sudah berulangkali menghambat cara-cara yang mereka lakukan untuk menyusup baik melalui UU, kurikulum pendidikan hingga SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM),” jelas dia.
Sementara, Prof Dr Achmad Zahro yang merupakan guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya mengungkapkan warga nahdliyin sekarang ini bisa digolongkan menjadi tiga, yakni NU Struktural, NU Kultural dan NU Main Cantik.
“Nah, saya yang sudah bergelar profesor harus bisa main cantik dan tidak boleh diam ketika melihat kondisi NU saat ini,” jelasnya.
Achmad Zahro menyebut sejarah kelam NU pada kisaran akhir tahun 1970-an kembali terulang saat ini, dimana yang diamati sekarang pengurus NU justru melanggar Khittah NU 1926 yang meliputi moqoddimah, nawasila dan qonun asasi.
Tentunya, kata dia, yang paling mencolok adalah pelanggaran qonun asasi (anggaran dasar NU Bab XVI Pasal 51 ayat (4).
“Siapapun yang mendapat amanat menjadi rais aam, rais syuriah dan ketua umum NU tidak diperkenankan untuk mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik apapun. Bahkan kalau punya jabatan tertentu wajib mengundurkan diri,”papar dia.
Saat ini, kata dia, baiat rais aam PBNU (KH Ma’ruf Amin) telah runtuh.
“Bahkan dalam suatu forum saya katakana, sahabat saya ini telah berkhianat terhadap NU. Peryataan saya itu juga mendapat dukungan dzuriyah (keturunan) para pendiri NU yang ke-NU-annya tidak ada batasannya,” ungkapnya.
Ironisnya, lanjut dia, mereka bukan menyadari kesalahan beratnya justru berusaha mengajak struktural NU untuk mendukung di Pilpres 2019. “Iya kalau menang, lumayan. Itu pikiran mereka. Kalau kalah, NU bisa hancur,” tegas Prof Achmad Zahro.
Bahkan tidak cukup di situ, di banyak kesempatan anggota struktural NU kerap berani menghina kader NU yang tak mau memilih kader NU di Pilpres mendatang.
Terus terang, imbuh Prof Zahro, dirinya juga sakit hati kalau mendengar yang tak mendukung 01 itu goblok. Padahal itu urusan pribadi dan tentunya setiap orang akan melihat dulu potensi yang dimiliki calon yang akan didukung.
Kalau soal kepandaian memang pintar tapi bidangnya bagaimana, dan mengapa dipilih umur yang tua, itu juga akan menjadi petimbangan pemilih.
“Saya tegaskan tidak kurang ke NU-an orang yang memilih 01 atau 02. Tapi yang melanggar AD/ART itu, jelas berkurang ke NU-annya karena telah mengkhianati khittah,” papar dia.
Lebih lanjut, Prof Zahro mengungkapkan pemaksaan memilih salah satu pasangan calon yang berkompetisi di Pilpres 2019 itu justru akan memecahbelah NU.
Pasalnya, sejak awal harusnya bisa dikondisikan sebab warga NU yang tidak terima dengan kondisi NU saat ini juga berhak menyatakan pendapat walaupun yang punya kuasa adalah NU Struktural.
Penolakan pemaksaan ini juga mendapat dukungan dzuriyah para pendiri NU. Bahkan pertemuan (halaqoh) menyuarakan sikap NU kultural terus dilakukan.
“Siapapun yang kita pilih jangan ada caci maki, ini bagian dari jihad politik sehingga jangan menjelekkan mereka yang beda pilihan,” pintanya.
Kendati demikian sejarah telah mencatat bahwa pelanggaran paling berat pertama terhadap khittah NU 1926 adalah KH Ma’ruf Amin karena posisi rais aam bagi warga NU itu lebih tinggi dibanding jabatan presiden.