Ngelmu.co – Mantan ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafi’i, melontarkan pernyataan keras atas fenomena calon presiden yang berebut dukungan dari para ulama demi mendongkrak elektabilitasnya dalam pemilu 2019.
“Bodohnya ulama itu. Ulama dipakai partai politik dan mereka mau. Itu sesungguhnya menkhianati eksistensi mereka,” ujar Buya Syafi’i saat ditemui di P4TK Matematika Kemendikbud Jogjakarta di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ), Senin (25/3).
[read more]
Jelang pemilu 2019 yang diikuti dua pasangan capres yakni, Joko Widodo- Maruf Amin dan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno, fenomena gerakan mencari dukungan dari kalangan ulama, gencar dilakukan dua kubu. Saling klaim dukungan juga menjadi hal yang kerap dilakukan untuk mendulang elektabilitas tiap calon.
Menurut Buya Syafi’i, ulama yang dipakai parpol hanya untuk kepentingan politik sama saja menjadi mainan politik. Harusnya mereka tetap menjaga moral dan persatuan.
“Kenapa mereka (ulama) mau jadi mainan politik? Seharusnya ulama itu menjaga moral, menjaga persatuan, menjaga hidup yang bermartabat, bermoral,” tegas Buya Syafi’i.
Buya menambahkan, jika ulama sudah terseret politik dan bahkan mau jadi mainan kepentingan elite dan partai politik, sebenarnya para ulama itu telah mengkhianati kedudukannya sendiri.
“Itu sama saja menggadaikan eksitensi mereka sendiri,” ujar Buya.
Di sisi lain, Buya juga melihat masalah intoleransi umat beragama kerap muncul di sekolah. Hal itu harus disikapi para guru untuk bekerja melawan virus intoleransi yang dapat merusak bangsa. Salah satu solusinya dengan melakukan penataran, pengawasan dan memberikan penjelasan tentang peta sosial pendidikan di Indonesia.
Buya menilai, sudah ada sebagian murid yang merasa tidak nyaman bersama teman sekolahnya yang berbeda agama. Hal ini harus diantisipasi dengan menjaga kultur kehidupan yang lebih baik. Di mana keberagaman umat itu menjadi kultur nilai-nilai Pancasila.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Golkar dan Dua Akar yang Mereka Tanam dalam Pilpres
[/su_box]
“Bangsa ini pluralisme. Sebuah keniscayaan yang harus diakui, itu sunatullah hukum alam berbeda-beda. Perbedaan jangan sampai dipakai untuk menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tuturnya.
[/read]