Ngelmu.co – Polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masih terus terjadi. Karena pasal-pasal di dalamnya, dianggap multitafsir dan bisa menjadi gerbang perzinahan. Inilah yang membuat Majelis Ormas Islam (MOI) akhirnya ikut bergerak, mendeklarasikan penolakan terhadap RUU P-KS. Karena jika sampai disahkan menjadi undang-undang, RUU yang dinilai memuat unsur ‘tertentu’ itu bisa saja merusak moral bangsa.
“Penolakan ini didasarkan oleh keprihatinan kami bahwa materi dalam RUU tersebut dapat merusak sendi-sendi moral bangsa dan tatanan keluarga Indonesia,” ujar Ketua Presidium MOI, Mohammad Siddik saat membacakan deklarasi di Gedung Dewan Dakwah, Jakarta, Kamis (28/3).
[read more]
Melansir Republika, Siddik menyatakan jika pihaknya merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengingatkan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Sebab, masih banyak pasal rancu yang ada di dalam RUU P-KS.
“Dan untuk alternatifnya, kami akan bahas lebih lanjut,” imbuhnya.
Sebelum melakukan deklarasi, MOI sudah lebih dulu menggelar seminar dengan tema “Bahaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. Acara tersebut diisi oleh dua pembicara, yakni advokat PAHAM Indonesia cabang DKI Jakarta, Helmi Al Djufri dan dosen UIKA Bogor, Wido Supraha.
Wido mempermasalahkan naskah akademik dalam penyusunan RUU P-KS. Menurutnya, naskah tersebut memuat berbagai hal yang batil. Maka, ia mengaku tegas menolak RUU P-KS.
“Kalau naskah akademiknya batil, maka UU-nya pun batil,” tegas pengajar mata kuliah Pemikiran dan Pendidikan Islam itu.
Bagi Wido, poin yang paling berbahaya dalam RUU P-KS, terdapat pada pasal 1 bab 1, yakni tentang definisi kekerasan seksual.
“Dari situ akarnya, di mana ada dua hal utama yaitu relasi kuasa dan relasi gender,” tandasnya.
Lebih lanjut Wido menjelaskan, jika Islam menolak teori relasi kuasa yang dibangun oleh Barat, dan diterapkan dalam RUU ini. Islam pun menolak diksi gender. Karena, Allah SWT hanya menciptaka dua jenis kelamin yang saling berpasangan, yakni laki-laki dan perempuan. Masing-masing dengan orientasi seksual yang tertuju pada lawan jenis. Maka, selain itu tidak dibenarkan keberadaannya.
Sementara itu, Wido juga menguraikan pasal 12 RUU P-KS, dan mengilustrasikan hubungan orangtua yang memiliki anak. Pasal multitafsir itu bisa diartikan seperti, jika orangtua membatasi anaknya di dalam rumah, tidak berpacaran, maka orangtua tadi bisa saja dikenakan ancaman pidana, karena adanya pasal tersebut.
Ditemui pada kesempatan yang sama, Helmi pun menjelaskan jika RUU P-KS bisa menghilangkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, hingga ketertiban umum. Ia juga menilai, RUU satu ini justru memandang agama dan moral sebagai sumber-sumber terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Contoh jelas terlihat dalam aspek pemaksaan berbusana dan hubungan yang tertera jelas di sana.
Selain itu, Helmi menilai RUU P-KS hanya fokus pada penindakan atas kekerasan seksual, bukan mencari dan menebas akar yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual.
Kerancuan-kerancuan itu yang akhirnya membuat 13 Ormas Islam menyatakan penolakannya terhadap RUU P-KS, di antaranya:
- Syarikat Islam,
- Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII),
- Al-Irsyad Al-Islamiyyah,
- Persatuan Islam (PERSIS),
- Hidayatullah,
- Mathla’ul Anwar,
- Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti),
- Al Jam’iyatul Washliyah,
- Al-Ittihadiyah,
- Persatuan Ummat Islam (PUI),
- Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI),
- Wahdah Islamiyah, dan
- Ikatan Da’ Indonesia (IKADI).
Semua berawal dari munculnya teori pendekatan hukum yang memiliki perspektif, perempuan yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik, ekonomi, dan sosial yang sering dikenal sebagai “Feminist Jurisprudence” atau “Feminist Legal Theory”.
Dan budaya patriarki, jelas dipandang radikal oleh aliran feminisme, dan mereka anggap sebagai sumber diskriminasi serta ketidakadilan. Inilah akar dari munculnya teori feminisme, yang dijadikansebagai sumber keadilan baru.
Dan berikut pasal-pasal multitafsir dalam RUU P-KS, yang perlu diwaspadai:
Pasal 11
(1) Setiap orang dilarang melakukan Kekerasan Seksual.
(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan/atau
i. penyiksaan seksual.
(3) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa Kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.
Pasal 12
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
Definisi yang tidak jelas ini bisa melahirkan berbagai tafsir sepihak, hingga melampaui batas. Atau bahkan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang.
Contoh, ketika masyarakat mengkritik perilaku menyimpang (LGBT), atau gaya berpakaian muda-mudi, bahkan hubungan seks di luar nikah bisa menimbulkan kriminalisasi atas nama pelecehan seksual. Semua terjadi karena ketidakjelasan definisi Pasal 12. Seharusnya, RUU bisa mengatur dangan tegas larangan perilaku menyimpang, seperti LGBT tadi.
Pasal 13
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Artinya, jika hubungan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka, sekalipun tidak melalui pernikahan, maka tidak akan dilarang. Apakah ini hal yang benar menurut agama?
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Pasal-Pasal Multitafsir RUU P-KS yang Dikritisi PKS
Ketika PKS Berjuang Sendirian Menolak RUU P-KS
[/su_box]
Belum lagi pasal yang membahas soal pemaksaan aborsi. RUU P-KS ini tidak melarang seseorang melakukan aborsi, jika hal tersebut dilakukan atas dasar keinginan sendiri. Pengertian tindak pidana pemaksaan aborsi dalam draf RUU PKS, bisa terlihat pada pasal bawah ini:
Pasal 15
Pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.
Pasal 17
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.
Mengapa Fraksi PKS mengkritik? Karena pasal ini dinilai bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga, masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak). Maka, bukan tidak mungkin nantinya seorang anak bisa mengkriminalisasi orangtuanya sendiri, jika menurut persepsi mereka, orangtua sudah ‘memaksa’ dirinya untuk menikah.
Pasal 18
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.
Padahal, pelacuran dan perzinahan atas alasan apa pun, secara prinsip Pancasila dan Agama akan selamanya menjadi hal terlarang. Maka, harusnya hal ini bisa menjadi landasan tegas untuk memastikan dilarangnya tindak pelacuran dan/atau perzinahan.
Pasal 19
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.
Pasal ini juga perlu diwaspadai, karena harusnya definisi bisa diperjelas lagi, agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama. Terutama untuk kewajiban serta adab-adab hubungan seksual dalam rumah tangga (suami-istri yang sah).
[/read]