91 Petugas Pemilu Meninggal Dunia, MK: Kami Ikut Berdosa

Ngelmu.co – Hingga Senin (22/4) sore, sudah ada 91 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia. Penyebabnya memang beragam, tetapi kelelahan tetap menjadi pemicu utama. Menanggapi hal ini, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman mengaku jika dirinya merasa ikut berdosa, karena menjadi bagian yang memutuskan agar Pemilu lokal dan nasional dilakukan secara serentak. Ia juga mengakui jika Pemilu 2019 menjadi penyelenggaraan tersulit di dunia.

“Saya merasa ikut berdosa, karena saya ikut memutuskan (Pemilu serentak),” tutur Anwar di Cisarua, Bogor, Senin (22/4).

Ia menjelaskan, efisiensi waktu dan anggaran menjadi salah satu pertimbangan MK, hingga memutuskan Pemilu dijalankan secara serentak. Namun, ternyata dalam pelaksanaannya, anggaran Pemilu yang mencapai Rp35 triliun itu, justru lebih besar dari perkiraan awal.

“Saya begitu pulang dari TPS, ternyata (sadar) betapa sulitnya Pemilu. Tapi putusan hakim MK pun bukan firman Tuhan, konstitusi saja bisa di-amandemen. Ternyata anggaran Pemilu (mencapai) sekitar Rp35 triliun,” ungkap Anwar., seperti dilansir dari CNN.

Anwar juga membagikan pengalaman pribadinya yang merasa kesulitan saat memasuki bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan melakukan pencoblosan. Karena terlalu banyak yang harus dipilih.

“Kebetulan saya memilih di wilayah Tangsel (Tanggerang Selatan), masuk Banten. Jadi dari tingkat kesulitan, memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika, yang kita tau sebagai mbah-nya demokrasi,” ujarnya.

Namun, Anwar tak ingin menyesali keputusan yang sudah telanjur dibuat dan dilaksanakan. Tetapi ia tetap memastikan jika Pemilu 2019, akan dijadikan bahan evaluasi ke depannya.

“Tapi sudah lah, ini sudah terjadi. Ini bahan evaluasi ke depan. Tugas berat masih menanti kami, saya terus terang selalu berharap mudah-mudahan Pemilu ini, terutama Pilpres, tidak bermuara ke MK,” tandasnya.

Ditemui secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengusulkan agar Pilpres dan Pileg pada 2024 mendatang, sebaiknya dilakukan secara terpisah.

“Tentu harus (ada) evaluasi yang keras, salah satu hasil evaluasi, dipisahkan antara Pilpres dengan Pileg. Itu supaya bebannya jangan terlalu berat,” tutur JK.

Ia juga menyebut penyelenggaraan Pilpres dan Pileg yang dilakukan secara bersamaan, membuat beban kerja petugas KPPS menjadi semakin berat. Dan sejak awal, pihaknya sudah mengkhawatirkan hal tersebut.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pun sependapat dengan Anwar dan JK, ia merasa perlu dilakukan evaluasi, meliputi sistem pemilihan, ambang batas parlemen (threshold), serta serentak atau tidaknya pelaksanaan pemilihan.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Jenderal, Mengapa Kau Tarik Babinsa dari Gelanggang Pemilu?
[/su_box]

Ia juga ingin mendorong agar pemerintahan yang baru hasil Pemilu 2019 nanti, bisa mengagendakan pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

PKB

“Jangan menjelang berakhir (pemerintahan), kalau menjelang berakhir, perdebatannya ndak (enggak) selesai-selesai,” tegasnya.

Pemerintah harus melakukan perbaikan sistem Pemilu di tahun pertama. Karena menurut Mahfud, pembahasan yang dilakukan di awal pemerintahan, bisa menghindari pengajuan judicial review ke MK, sehingga tidak memakan waktu.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengaku jika setelah Komisi Penyelenggaran Umum (KPU) mengumumkan hasil Pemilu 2019, maka pemerintah baru akan membahas hal tersebut bersama dengan DPR dan KPU. Ia menyampaikan bahwa pihaknya juga sudah membuat evaluasi terkait keputusan MK yang menyebut Pemilu harus dilaksanakan serentak.

Karena selain mekanisme pemilihan, masa kampanye juga perlu diperhitungkan, apakah waktu kampanye perlu dilakukan selama berbulan-bulan, seperti pada Pemilu 2019 ini, atau bisa dipersingkat.

“Kemendagri sudah membuat evaluasi yang menyangkut keputusan MK. Keserentakan itu, apakah harus hari, tanggal, jam, bulan yang sama (atau tidak). Saya kira yang penting bagaimana membangun sebuah sistem Pemilu yang demokratis, lebih efektif, lebih efisien,” jelas Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Evaluasi perlu dilakukan, karena selain 91 orang petugas Pemilu meninggal dunia, masih ada 374 orang lainnya yang jatuh sakit pasca menjalankan tugas di Pemilu 2019 ini. Selain KPPS, beberapa Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) pun mengembuskan napas terakhir, di tengah-tengah masa tugas mereka.

“Kami perlu informasikan, terkait dengan jumlah sementara sampai pukul 17.49 WIB, petugas penyelenggara Pemilu yang tertimpa musibah itu sebanyak 91 orang meninggal dunia. Kemudian 374 orang sakit,” ujar Ketua KPU Arief Budiman, di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/4).

Berdasarkan penjelasan Arief, petugas Pemilu yang sakit dan meninggal tersebut, tersebar di 19 provinsi di Indonesia, yakni:

  1. Maluku,
  2. DIY,
  3. Banten,
  4. Sulawesi Tenggara,
  5. Jawa Timur,
  6. Kalimantan Timur,
  7. Sumatera Selatan,
  8. Jawa Tengah,
  9. Sumatera Utara,
  10. Riau,
  11. Jawa Barat,
  12. Kalimantan Barat,
  13. Sulawesi Selatan,
  14. Lampung,
  15. Sulawesi Utara,
  16. Kalimantan Tengah,
  17. Kalimantan Selatan,
  18. Sumatera Barat, dan
  19. Bali.