Ngelmu.co – Demokrat bergabung dengan Koalisi Indonesia Adil Makmur, Jumat (10/8/2018) lalu. Hal itu disampaikan oleh Sekjen Demokrat, Hinca Panjaitan saat ditemui di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, hubungan Gerindra dan Demokrat memang sempat memanas. Karena Wasekjen Demokrat, Andi Arief menuding Prabowo sebagai jenderal kardus.
Namun, saat ditanya apa alasan Demokrat hingga akhirnya memutuskan untuk mengusung Prabowo-Sandi, Hinca menjawab hal tersebut merupakan niat partainya sejak awal.
Melansir dari berbagai sumber, sayangnya Demokrat yang datang belakangan ke Koalisi Indonesia Adil Makmur itu, justru dinilai akan pergi paling awal, meninggalkan koalisi.
Bahkan, sejak awal mereka dianggap setengah hati dalam membantu Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019.
Hal ini disampaikan oleh Wasekjen Hanura, Tridianto. Menurutnya, sejak awal Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang setengah hati mendukung Prabowo, atau terpaksa, karena ditolak masuk koalisi kubu petahana.
“Ya Demokrat limbung. Akhirnya cari-cari jalan untuk bisa ikut rombongan pemenang. Kan memang Demokrat sejak awal sikapnya abu-abu atau tidak jelas,” ujarnya, Sabtu (11/5).
Bahkan, Tridianto menilai apa yang dikatakan oleh Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen TNI (Purn), Kivlan Zein, ada benarnya. Sejak awal, Partai Demokrat tidak jelas dalam konteks dukungan kepada Prabowo-Sandi.
“Benar apa yang disampaikan Pak Kivlan itu, tidak jelas kelaminnya. Makanya sekarang Demokrat cari jalan merapat ke Jokowi. Tujuannya? Ya jelas, biar Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bisa masuk gerbong. Kan itu targetnya SBY, menyelamatkan Demokrat dengan AHY bisa tetap beredar,” tutur mantan politikus Partai Demokrat itu.
“Demokrat adalah AHY. Makanya gimana caranya AHY bisa masuk ke dalam kekuasaan,” pungkasnya.
Meski kepergian Demokrat dari koalisi belum dinyatakan secara resmi, tetapi pernyataan Wasekjen Demokrat, Rachland Nashidik yang menganjurkan agar Prabowo dan Jokowi membubarkan koalisi masing-masing, cukup menyita perhatian.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Menyesal Dukung 02, Demokrat: Kami Kehilangan 2% Suara
[/su_box]
Hal itu ia sampaikan melalui akun Twitter pribadinya, Ahad (9/6). Rachland menilai, mempertahankan koalisi sama seperti mengawetkan permusuhan di antara kedua kubu, serta memelihara potensi benturan di akar rumput.
“Pak @prabowo, Pemilu sudah usai. Gugatan ke MK adalah gugatan pasangan Capres. Tak melibatkan peran Partai. Saya usul, Anda segera bubarkan Koalisi dalam pertemuan resmi yang terakhir. Andalah pemimpin koalisi, yang mengajak bergabung. Datang tampak muka, pulang tampak punggung,” tulis @RachlanNashidik.
“Anjuran yang sama, bubarkan Koalisi, juga saya sampaikan pada Pak @jokowi. Mempertahankan koalisi berarti mempertahankan perkubuan di akar rumput. Artinya mengawetkan permusuhan dan memelihara potensi benturan dalam masyarakat. Para pemimpin harus mengutamakan keselamatan bangsa,” lanjutnya.
Sebelumnya, partai yang diketuai oleh SBY itu sudah beberapa kali bermanuver politik, yang mengindikasikan mereka tak akan selamanya berada di kelompok tersebut.
Bahkan, Demokrat sudah menunjukkan gelagat demi gelagat, sebelum hari pencoblosan Pemilu 2019, Rabu (17/4) lalu.
Seperti jarangnya SBY pun petinggi-petinggi Demokrat lainnya tampil mengkampanyekan Prabowo-Sandiaga, padahal sebelumnya SBY sendiri yang meminta menjadi Juru Kampanye Prabowo-Sandi.
SBY bahkan sempat menulis surat yang isinya kritik terhadap kampanye akbar paslon 02 yang digelar di Gelora Bung Karno, Ahad (7/4) lalu.
Saat itu, ia menyatakan kampanye tersebut tidak inklusif, karena melihat adanya kecenderungan kampanye, hanya untuk golongan tertentu.
Semakin hari, gelagat Demokrat tak akan bertahan di koalisi semakin terlihat. Terlebih saat putra sulung SBY (AHY) yang menjabat sebagai Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, menemui Presiden Jokowi di Istana Negara, Kamis (2/5) lalu. Meskipun bagi elite Demokrat, pertemuan itu hanya silaturahim biasa.
Bahkan Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menyatakan kerja sama partainya dengan Koalisi Indonesia Adil Makmur akan berakhir setelah adanya penetapan pemenang Pilpres 2019 ini.
Kalau Prabowo-Sandi dinyatakan menang, maka partainya punya kewajiban untuk mengawal pemerintah baru. Sebaliknya, jika Prabowo-Sandi dinyatakan kalah, kerja sama koalisi pun akan berakhir.
“Kalau Pak Prabowo menang, Partai Demokrat punya kewajiban moril dalam politik mengawal pemerintahan. Tapi kalau Pak Jokowi yang diputuskan menang, maka kerja sama koalisi berakhir,” ujarnya, saat ditemui di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/5).
Sementara menurut Direktur Eksekutif Kelompok Diskusi Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo, Demokrat rela meninggalkan barisan Prabowo-Sandi, agar AHY mendapatkan posisi strategis di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Sebab, posisi di pemerintahan Jokowi itulah yang diharapkan Demokrat, agar bisa mempertahankan bahkan menaikkan popularitas AHY, demi dapat melaju di Pemilu 2024 mendatang.
“Mau enggak mau Demokrat merapat ke Jokowi supaya dapat jatah, entah apa pun posisinya, yang penting bisa dapat sorotan media,” pungkasnya.