Ngelmu.co – Herayati Sawitri pernah menjadi bahan pemberitaan pada 2018 lalu, karena dirinya berhasil lulus dengan predikat cum laude dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Kisahnya semakin menarik, karena Hera—begitu ia biasa dipanggil—merupakan anak dari seorang pengayuh becak.
Tahun ini, Hera kembali muncul dengan cerita lain yang tak kalah menginspirasi. Ia mengaku diminta untuk menjadi dosen di Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten. Haru, begitu rasanya. Karena dosen adalah profesi yang juga menjadi cita-citanya sejak kecil.
Perjalanan Hera menggapai mimpinya pun dimulai. Namun, untuk mengajar di kampus ternama Banten itu, tak langsung bisa ia sanggupi.
“2018 lalu saya diminta datang ke Untirta, tapi saat itu saya baru lulus S1, sementara jadi dosen minimal S2,” tuturnya yang ditemui di kediamannya, di Jalan Masigit-Sumur Menjangan, Grogol, Kota Cilegon, Banten, Rabu (24/7), seperti dilansir Kompas.
Hera yang mengambil program fast track di ITB, melanjutkan S2 di sana. Hebatnya, ia mampu menempuh pendidikan itu, dengan waktu kurang dari satu tahun (10 bulan). Hera pun lulus dengan predikat cum laude, IPK 3,8.
Pihak Kampus Untirta kembali memanggilnya, setelah Hera lulus S2. Ia pun langsung diberi amanah untuk menjadi dosen luar biasa, di Jurusan Teknik.
“Maunya jadi dosen tetap, tapi harus PNS, sambil menunggu penerimaan, jadi dosen luar biasa dulu, sementara di teknik untuk kimia dasar, mulai mengajar bulan September (2019) ini,” jelas wanita 22 tahun itu.
Apa yang dicapai oleh wanita kelahiran 17 April 1997 itu, bukan sesuatu yang didapat sekejap mata. Sebab, ia pernah merasakan bagaimana perihnya menempuh bangku kuliah dalam keadaan terbatas.
Ayah Hera, Sawiri, hanya seorang pengayuh becak di Cilegon. Sementara ibunya, tinggal di rumah, mengurus rumah tangga. Dengan penghasilan yang tak menentu, sulit dipercaya bahwa Hera bisa menyabet gelar sarjana dan magister di ITB.
Namun, impiannya untuk masuk ke ITB, memang sudah ada sejak ia masih SMP. Apalagi setelah lulus SMA, seleksi pertama lewat jalur undangan, Hera pernah gagal masuk ITB.
Syukurnya, ia tak patah semangat. Hera bangkit dan mengikuti seleksi berikutnya, lewat tes tertulis. Ia pun lolos di Teknik Kimia.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Arnoud Van Doorn: Seorang dengan Islamophobia yang Kini Memeluk Islam
[/su_box]
Meski ekonomi keluarganya sangat terbatas, Hera tak pernah ragu untuk tetap melanjutkan kuliah. Optimistis-nya, membuat Hera mengantongi sejumlah beasiswa, di antaranya dari program bidik misi, dan bantuan dari Pemerintah Kota Cilegon.
Sayangnya, terkadang beasiswa masih kurang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, sementara terbiasa mengandalkan kiriman dari orangtuanya pun, ia tak ingin.
“Akhirnya saya cari tambahan, mulai dari jadi asisten dosen, hingga mengajar bimbel,” kenangnya.
Akhirnya, Hera berhasil lulus S1 pada Juli 2018 lalu. Satu bulan setelahnya, ia mengambil magister untuk memenuhi syarat menjadi dosen di Untirta. Setengah masa kuliahnya, ia habiskan di Chulalongkorn University Thailand, lewat program Student Exchange.
Kerja keras Hera selama ini, jelas tak lepas dari dukungan kedua orangtuanya. Sekalipun mereka tak mampu mendukung secara materi, doa dan dukungan moral yang tak pernah berhenti, menjadi segalanya bagi Hera.
“Walaupun tidak punya, Bapak dan Mamah tidak pernah melarang, walaupun diam, tapi tidak pernah bilang jangan, selalu mendukung, walaupun tidak lewat materi, tapi doanya luar biasa,” pungkasnya.