Ngelmu.co – Setiap kali Iduladha hadir, selalu saja saya teringat dialog menyejarah. Percakapan tak biasa antara seorang ayah dan anaknya, dari keluarga Nabi Ibrahim as.
Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabadikannya dalam Al-Qur’an.
“Maka Tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai Anakku, sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu? Ia menjawab: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” (QS. As Shaffat 37: 102).
Ini dialog yang sungguh luar biasa. Bayangkan, kala itu sebagai seorang ayah, dalam keluarga Nabi Ibrahim as, ia menghadapi situasi konflik yang sangat pelik.
Ia harus menyembelih anaknya, yang dinanti kehadirannya sejak lama. Lalu, tiba-tiba, datang perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk membunuh (rasa ‘kepemilikan’ terhadap) Ismail.
Sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim tentu saja berkuasa atas anaknya. Ia memiliki otoritas untuk membuat anaknya taat.
Namun, yang dilakukannya bukan bertindak otoriter dan instruktif. Ia justru mengajak Sang Anak berdialog dengan rangkaian kalimat nan indah.
Nabi Ibrahim as mengedepankan dialog. Persuasif. Tak ada kekerasan, dan respons pendekatan tersebut dari Nabi Ismail as, tak kalah dahsyatnya.
Ismail mempersilakan Sang Ayah menyembelihnya, jika memang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, di akhir jawabannya, Ismail menyelipkan doa.
Dialog Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as mengingatkan saya dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.
Pakar dan praktisi pendidikan anak dari Florida, Amerika Serikat, Pamela Phelps, Ph.d, dan Laura Stannard Ph.d yang mengungkapkannya pada sebuah seminar; delapan tahun silam di Jakarta.
Terdapat empat tahapan penyelesaian konflik sesuai tahap perkembangan anak, yaitu:
- Pasif (passive),
- Serangan fisik (physical aggression),
- Serangan bahasa (verbal aggression), dan
- Bahasa (language).
Tahap Pertama
Pasif (passive), pada tahap ini, anak hampir tidak melakukan komunikasi dalam bentuk bahasa dengan lingkungan. Fase ini terjadi pada bayi yang belum bisa berbicara.
Tahap Kedua
Serangan fisik (physical aggression), di mana kondisi ini biasa dialami oleh anak-anak usia pra-TK (sekitar 2-3 tahun).
Anak usia ini kerap menyelesaikan konflik dengan melakukan serangan fisik, berupa: berteriak, memukul, melempar, menggigit, dan mengamuk (tantrum).
Mengingat kosa kata yang mereka miliki untuk mengungkapkan perasaan dan mengatasi konflik, masih sangat terbatas.
Saat marah, mereka langsung memukul, ketika ingin mainan teman, mereka langsung merebut.
Tahap Ketiga
Serangan kata-kata (verbal aggression), yakni saat anak menginjak usia TK (usia 4-6 tahun), serangan fisik akan berkurang.
Seiring dengan kosa kata yang dimiliki makin kaya, mereka mulai memahami kekuatan kata-kata dan mulai menyerang dengan kata-kata.
“Kamu jelek!” demikian yang dikatakan anak TK ketika marah pada temannya.
Tahap Keempat
Bahasa (language), pada tahap ini, seorang anak sudah dapat menyelesaikan konflik dengan bahasa yang lebih santun: kalimat yang baik, tidak menghakimi, dan tidak kasar.
Hal ini menandakan, bahwa kematangan dan pengendalian emosinya sudah baik.
Seharusnya seorang anak yang akan masuk sekolah dasar (SD), sudah sampai pada tahapan bahasa untuk mengatasi persoalannya.
Misalnya, ketika anak berlari-lari dan menyenggol temannya, dan teman yang disenggol marah, “Kenapa kamu nyenggol aku?”.
Maka ia akan segera menjawab: “Maaf, ya. Enggak sengaja. Lain kali aku hati-hati.”
Kalau kedua anak itu telah menggunakan tahap bahasa, maka konflik pun selesai.
Baca juga:
Jadi, agar anak-anak kita kelak pandai mengelola konflik dan menyelesaikannya dengan pendekatan bahasa, tentu butuh ikhtiar sejak dini.
Kita, sebagai orang tua, harus memastikan setiap tahapan-tahapan perkembangan di atas, tuntas dilalui anak.
Sebab, jika ada yang tak selesai, akan berimbas ketika mereka menginjak usia dewasa.
Pentingnya Pendampingan
Contoh, jika anak kita sedang memasuki tahap serangan kata, dampingi dan berikan pijakan. Jangan biarkan dirinya memproduksi kata-kata kasar tanpa henti.
Siapa pun yang ada di dekatnya, sesegera mungkin memberikan pondasi, bahwa kata-kata tersebut tak baik dan tak patut diucapkan.
Pada tahapan ini, ketika kita biarkan anak, maka saat dia dewasa, penyelesaian konfliknya akan selalu menggunakan kata-kata kasar.
Begitu pula saat tahap serangan fisik juga tak tuntas dilewati dengan pijakan.
Jika kita ingin menjejaki kisah keluarga Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, pada Iduladha ini jadi momentum yang tepat melihat kembali bagaimana pola asuh kita terhadap anak-anak.
Agar di masa depan, anak-anak kita mampu menyelesaikan konflik yang di hadapinya, melalui pendekatan bahasa, bukan kekerasan fisik dan serangan kata-kata.
Semoga.
Oleh: Erwyn Kurniawan, Direktur Sekolah Shibghah Akhlaq Qur’an (Sakura), Bekasi.