Air Mata Hilangnya Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

Ngelmu.co – Tahun-tahun berlalu. Namun, sedih dalam benak Kasman Singodimedjo tak juga beranjak. Air matanya menetes, saban mengingat perannya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, 18 Agustus 1945 pagi.

“Saya-lah yang ikut bertanggungjawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman, seperti ditulis cendikiawan Muhammadiyah, Lukman Harun dalam ‘Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun’.

Menurut Lukman, dalam sejumlah pertemuan, Kasman kerap mengungkapkan kesedihan serupa. Kesedihan Kasman, bukan tanpa alasan.

Pagi itu, Sabtu 18 Agustus 1945, usia Republik Indonesia, belum genap sehari. Rencananya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan bersidang dengan agenda mengesahkan UUD 1945.

Mengangkat presiden dan wakil presiden, serta mengangkat kepala daerah.

Namun, sidang yang dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB, terpaksa molor beberapa jam. Sebab, ada persoalan sensitif dan krusial yang mesti segera diselesaikan lebih dahulu, oleh sejumlah anggota PPKI.

Persoalan itu, ialah tuntutan menghapus tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945 yang saat itu dikenal dengan istilah Piagam Jakarta.

Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

Tujuh kata yang dimaksud, terdapat dalam kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,”.

Wakil Ketua PPKI, Mohammad Hatta mengungkapkan tuntutan tersebut datang kepadanya, dari para pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur, 17 Agustus 1945 sore, melalui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang).

Pemuka agama Kristen dan Katolik, menilai kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, bersifat diskriminatif terhadap kelompok non-Muslim.

Bung Hatta yang termasuk perumus Piagam Jakarta di Panitia Sembilan, menolak anggapan itu. Ia menjelaskan kalimat yang mewajibkan penerapan syariat Islam, tidak bertujuan mendiskriminasikan kelompok minoritas.

Bukan Diskriminasi

Sebab, kalimat itu hanya berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Apalagi, kalimat itu juga telah disetujui AA Maramis, yang merepresentasikan kelompok non-Muslim di Panitia Sembilan.

“Aku mengatakan bahwa itu bukan diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam,” kenang Hatta dalam buku ‘Di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945’.

Namun, penjelasan Bung Hatta tak berbuah hasil. Opsir Kaigun memastikan para pemuka agama Kristen dan Katolik akan tetap berkukuh meminta tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus.

Jika kalimat itu tetap dipertahankan, mereka mengancam Indonesia Timur tidak akan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja diproklamasikan.

Bung Hatta akhirnya mengalah dan berjanji akan membahas persoalan ini dalam sidang PPKI, besok (18 Agustus 1945).

Bung Hatta sadar, jika Republik yang baru diproklamasikan pecah, maka Belanda akan mudah kembali menjajah.

“Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai,” kenang Hatta.

Mengalah Demi Persatuan

Esok paginya, sebelum rapat PPKI dimulai, Bung Hatta mendiskusikan tuntutan para pemuka agama Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur, bersama sejumlah tokoh Islam.

Mereka yang terlibat ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo.

Kasman menggambarkan sengit dan tegangnya suasana saat pelobian di pagi itu. Menurutnya, semula tokoh-tokoh Islam sukar menerima tuntuntan para pemuka agama Katolik dan Kristen dari Indonesia Timur.

Namun, akhirnya mereka mengalah, karena saat itu Republik membutuhkan persatuan untuk mendapat dukungan dan simpati dunia.

Ki Bagus Menolak Penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta

Salah satu tokoh Islam yang saat itu paling bersikeras menolak penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, ialah Ketua Umum Muhammadiyah sekaligus anggota Panitia Sembilan, Ki Bagus Hadikusumo.

Kasman mengatakan, pagi itu Sukarno yang merupakan Ketua PPKI memang sengaja memintanya bergabung sebagai anggota tambahan PPKI.

Selain Kasman ada lima orang lain yang juga diminta Sukarno bergabung sebagai anggota tambahan PPKI. Mereka ialah Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Mr Iwa Kusumasumantri, dan Mr. Ahmad Subarjo.

Namun, Sukarno punya tugas khusus untuk Kasman, yakni membujuk Ki Bagus Hadikusomo agar berkenang menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Sukarno percaya, Kasman yang juga warga Muhammadiyah, dapat melunakan pendirian Ki Bagus.

Sebab, lobi sejumlah tokoh Islam seperti K.H Wachid Hasjim, Teuku M.Hasan, hingga Bung Hatta, tak mampu melunakkan pendirian Ki Bagus mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Sukarno sendiri, menurut Kasman, tampak tidak ingin terlibat dalam pelobian menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

“Mungkin karena beliau sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan terutama sebagai peserta dari Panitia Sembilan mengenai pembuatan Piagam Jakarta, merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya,” kata Kasman.

Situasi Semakin Mendesak

Mulanya, Kasman keberatan memenuhi permintaan Sukarno. Sebab, tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan hal prinsip bagi umat Islam dalam bernegara.

Namun, Kasman pun sadar, situasi sangat mendesak. PPKI harus segera bersidang mengesahkan UUD 1945 dan memilih presiden dan wakil presiden. Jika terus berdebat, maka Republik yang baru sehari diproklamasikan itu, terancam bubar.

Dengan menggunakan Bahasa Jawa halus, Kasman akhirnya berkenan membujuk Ki Bagus:

“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan.

Kalau Bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana? Kiai, sekarang ini Bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan tingil-tingil.

Yang tongol-tongol itu ialah bala tentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil adalah sekutu.

Termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok pasti kita akan konyol,” kata Kasman kepada Ki Bagus.

‘Ketuhanan yang Maha Esa’

Kasman juga mengingatkan, dalam Undang-Undang Dasar yang akan di-sahkan hari itu, terdapat satu pasal yang menyatakan bahwa enam bulan lagi, Majelis Permusyawaratan Rakyat akan melakukan penyempurnaan isi Undang-Undang Dasar.

Sehingga tidak ada salahnya bagi umat Islam mengalah sementara, menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, demi Indonesia merdeka yang berdaulat, adil, makmur, dan diridhai Allah SWT.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]

Pencipta Lagu Hari Merdeka, Pendiri Paskibraka, Penyelamat Bendera Pusaka, adalah Seorang Habib

Ketika Sang Saka Merah Putih Berkibar Pertama Kali

[/su_box]

Mendengar penjelasan Kasman, Ki Bagus bersedia mengendurkan pendirian dan menerima usul penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Dan akhirnya, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu berganti menjadi kalimat: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

“Pada waktu itu, kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, dan mengggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’,” kata Kasman.

Kendati begitu, setelah enam bulan UUD 1945 di-sahkan, karena situasi Republik yang tidak menentu akibat agresi militer Belanda, MPR tidak pernah bersidang untuk memperbaiki isi Pembukaan UUD 1945, sebagaimana aspirasi sejumlah tokoh Islam.

Oleh: M Akbar Wijaya, Wartawan Republika