Mengenal Desa Temboro Magetan, ‘Kampung Madinah’ di Indonesia

Kampung Madinah

Ngelmu.co – Tanah Air kita disebut miliki ‘Kampung Madinah’, yang terletak di Desa Temboro, Magetan, Jawa Timur. Entah sejak kapan nama itu disematkan kepada wilayah tersebut. Namun, yang pasti kehidupan sehari-hari warga di sana, serupa dengan apa yang berlangsung di Kota Madinah, Arab Saudi.

“Saya sendiri yang merupakan warga asli sini, tidak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan sebutan Kampung Madinah,” tutur Pemerintahan Desa Temboro, Lukman Hakim, seperti dilansir Antara News.

“Tahunya sebutan Kampung Madinah itu sudah viral akhir-akhir ini, dan heboh di media sosial, seperti Facebook dan Twitter,” imbuhnya.

Tak Lepas dari Peran Pondok Pesantren Al Fatah

Desa Temboro terletak di Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan. Berjalannya Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari warga di sana, tak lepas dari peran Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fatah.

Ponpes Al Fatah, disebut Lukman, punya pengaruh besar bagi warga desanya, baik dari segi ajaran keagamaan, perilaku sosial sehari-hari, maupun perekonomian.

Kehidupan sehari-hari di Ponpes dengan warga sekitarnya, sudah bersinergi dalam harmoni selama bertahun-tahun, bahkan sejak Ponpes itu berdiri.

Dibangun pada 1950-an, Ponpes yang saat ini telah memiliki puluhan ribu santri itu, awalnya merupakan masjid dan tempat belajar mengaji yang didirikan Kiai Haji Mahmud.

Baru seiring perkembangan waktu, Ponpes Al Fatah memiliki Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzul Quran, dan Madrasah Diniyah.

[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Jelang Adzan, Wali Kota Banda Aceh Minta Aktivitas Muamalah Dihentikan
[/su_box]

Di bawah pimpinan K.H. Uzairon Hayfur Abdillah yang merupakan putra K.H. Mahmud, Ponpes Al Fatah mulai mengalami perkembangan pesat.

Saat ini, bangunan Ponpes telah menyebar di tiga lokasi yang mendominasi wilayah Desa Temboro, yakni Pondok Pusat, Pondok Utara, dan Trangkil Darussalaam, sebagian besar merupakan pondok putri.

Ada 50 persen lebih warga di ‘Kampung Madinah’ Indonesia itu, merupakan pendatang, sisanya warga asli Desa Temboro.

Mereka adalah santriwan dan santriwati yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, serta 16 negara yang sedang menuntut ilmu di Ponpes Al Fatah.

Ada juga warga luar Temboro, yang membuka usaha dagang di wilayah tersebut.

“Sampai saat ini, jumlah santri yang belajar di Ponpes Al Fatah mencapai 22.000 jiwa lebih. Itu belum termasuk santri yang belajar kilat selama beberapa hari atau bulan saja,” kata Lukman.

“Tahun ajaran baru ini saja, Ponpes Al Fatah menerima 4.000 santri baru,” lanjutnya.

Mengapa Disebut Kampung Madinah?

Sebutan Kampung Madinah, menjadi lekat pada Desa Temboro, karena Ponpes setempat berusaha membawa kebiasaan warga Kota Madinah, Arab Saudi, ke dalam kehidupan sehari-hari para santrinya.

Kebiasaan itu, akhirnya menular ke perilaku sehari-hari warga sekitar Ponpes.

Di antaranya, kebiasaan masyarakat Desa Temboro yang selalu menghentikan kegiatan, tiap kali adzan berkumandang. Hampir seluruh warga, pergi ke masjid atau mushalla desa, untuk menjalankan sholat berjemaah.

“Memang tradisi di sini, setiap waktu sholat lima waktu, semua kegiatan diusahakan dihentikan. Semua pertokoan atau apa ditutup. Setelah sholat (baru) dibuka lagi,” jelas Lukman.

Sementara dari segi pakaian, hampir seluruh warga Desa Temboro berpakaian sesuai sunnah, seperti pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW dulu.

Cara Berpakaian Warga Kampung Madinah

Para Muslim mengenakan baju gamis, sedangkan Muslimah mengenakan baju sesuai Syari’at Islam, lengkap dengan cadar sebagai penutup wajah.

Selain itu, di lingkungan pondok setempat, juga terdapat lahan untuk pacuan kuda, tempat unta, dan lapangan memanah.

Kebiasaan warga Temboro yang menduplikasi Kota Madinah, Arab Saudi ini, mulai diterapkan setelah pondok dipimpin K.H. Uzairon Hayfur Abdillah pada 1990-an.

Sepulang menuntut pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, ia aktif berdakwah untuk mensyiarkan agama Islam dan ajaran sunnah.

Tidak hanya di sekitar desa, ia juga berkeliling Indonesia dan beberapa bagian negara. Kiai juga menerima santri dari berbagai wilayah nusantara dan luar negeri.

Setelah K.H. Uzairon wafat pada 2014, kepemimpinan Ponpes Al Fatah diteruskan oleh adik-adiknya, yakni K.H. Ubaidillah Ahror dan K.H. Umar Fatahillah.

Perekonomian Desa Meningkat Pesat

Keberadaan Ponpes Al Fatah di Desa Temboro telah membuat tingkat perekonomian warga sekitar pondok meningkat, sehingga taraf kemakmuran hidup mereka pun meningkat.

Aktivitas keseharian pondok, memberikan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar, yang sebelumnya hanya mengandalkan pertanian.

Perputaran uang di ‘Kampung Madinah’ Indonesia itu, ditaksir bisa mencapai puluhan miliar rupiah, setiap bulannya.

Warga desa, terutama ibu-ibu, banyak yang menjual makanan olahan sendiri, untuk kemudian disetorkan ke koperasi pondok, mulai dari nasi bungkus, hingga aneka jajanan untuk keperluan para santri.

“Semua kebutuhan santri dipenuhi dengan membeli keperluan di koperasi pondok. Hal itu karena santri dilarang keluar, kecuali ada alasan genting, seperti sakit,” ujar Lukman.

“Koperasi pondok tentunya mendapatkan pasokan dari warga sekitar,” sambungnya.

Sementara para pria, menyediakan jasa transportasi berupa becak motor. Sesuai kesepakatan dengan pondok, tarif becak motor hanya Rp5.000 per kepala, untuk jarak jauh maupun dekat.

“Jadi kalau mengangkut dua orang, bayarnya Rp10.000. Menghitungnya per orang, bukan per becak,” jelas Lukman.

Selain memasok makanan dan jasa transportasi, banyak juga warga sekitar dan pendatang yang membuka toko, menjual barang-barang keperluan santri, mulai dari baju gamis, baju muslim, dan keperluan belajar lainnya.

Baju-baju Muslimah yang dijual di toko-toko setempat, mayoritas dibuat sendiri oleh pemilik tokonya. Proses pembuatan baju tersebut, melibatkan ibu-ibu desa, dalam hal memasang manik-manik baju ataupun menjahit.

Pendapatan Meningkat saat Pertemuan Wali

Toko akan sangat ramai, jika tiba agenda pertemuan wali santri, yang biasanya digelar setiap Syawal, pada tanggal 20-an.

Dalam kegiatan itu, Ponpes mengundang seluruh wali santri untuk bersilaturahmi sekaligus membacakan laporan tentang kegiatan Ponpes, mulai dari laporan keuangan, kegiatan santri, hingga pembangunan pondok.

Salah satu pedagang baju gamis di wilayah setempat, Erwin, mengaku mendapat penghasilan yang besar saat pertemuan wali santri itu. Ia pun memasok baju gamis lebih banyak, dari Surabaya dan Jakarta.

“Ramai sekali kalau pas wali muridan. Ini pertemuannya se-Asia Tenggara. Banyak santrinya. Tahun kemarin pendapatan bisa Rp150 juta selama kegiatan,” katanya.

Sedangkan salah satu penarik becak motor, Ali, mengaku per harinya bisa mengantongi omzet mencapai Rp1,5 juta, saat pertemuan wali santri.

Pertemuan wali santri, biasa digelar selama 10 hari, sedangkan sepekan sebelum acara itu, para wali dan santrinya sudah mulai berdatangan.

Mengalirnya Rezeki

Pihak lain yang juga ikut merasakan aliran rezeki adalah warga desa sekitar pondok, yang menyewakan rumah sebagai kamar penginapan.

“Di sini kalau pas pertemuan wali santri, hampir semua rumah warga disewakan. Hitungan sewanya bukan per kamar, tapi per orang,” terang Lukman.

“Biasanya per orang biaya sewanya Rp75.000 per malam. Jadi kalau satu kamar disewa empat orang, tinggal dikalikan saja,” lanjutnya.

Lukman mengakui, jika taraf ekonomi warganya meningkat, karena keberadaan Ponpes Al Fatah. Karena warga setempat kerap terlibat dalam setiap kegiatan pondok.

Seperti saat pondok menggelar pengajian umum, peserta yang hadir bisa ribuan orang, dari berbagai wilayah di Indonesia.

Pihak pengurus pondok, selalu meminta bantuan warga desa setempat untuk mengurus keamanan dan parkir.

Biasanya, para pemuda kampung dan bapak-bapak yang dilibatkan, sedangkan sektor konsumsi, sudah pasti melibatkan ibu-ibu.

Biasanya, pengajian digelar setiap Kamis malam, setelah Maghrib. Usai sholat Isya, banyak juga warga yang melakukan taklim dan zikir.

Ramadhan di ‘Kampung Madinah’ Indonesia

Di bulan suci Ramadhan, warga desa memilih untuk menjual takjil untuk berbuka puasa para santri dan warga pendatang.

Jalanan di ‘Kampung Madinah’ Indonesia menjelang jam berbuka puasa, akan menjadi padat karena semua warga berbaur di sana.

Di waktu Idul Adha, para santri dan warga akan melaksanakan takbir keliling ‘Kampung Madinah’.

Pemotongan hewan kurban, dilakukan secara bersama di sejumlah masjid pondok dan kampung, dan untuk pembagian daging kurban, diarahkan kepada warga, terlebih mereka yang kurang mampu.

Ponpes Al Fatah juga biasa menggelar pengajian akbar saat memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Kegiatan itu, melibatkan warga sekitar pondok.

Dari jumlah santri yang menuntut ilmu di Ponpes Al Fatah, yakni lebih dari 22.000 orang, sekitar 980 santri berasal dari luar negeri, mayoritas dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, dan Thailand.