Ngelmu.co – Hadir di peringatan 74 tahun Rapat Raksasa Ikatan Atletik Djakarta (IKADA) 2019, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyampaikan beberapa hal dalam sambutannya.
Peringatan yang digelar di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (19/9) pagi, dihadiri oleh jajaran pegawai Pemprov DKI Jakarta.
Berikut selengkapnya, sambutan Gubernur Anies:
Mengawali sambutan ini, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di pagi hari yang cerah dan sejuk ini, kita melakukan upacara mengenang peristiwa bersejarah yang biasa disebut dengan nama Rapat Raksasa Ikada, yang kita selenggarakan di Jakarta, setiap tanggal 19 September.
Perlu kita sadarai, bahwa peringatan raksasa ini yang terjadi di lapangan, di tempat kita berdiri hari ini, diperingati oleh Provinsi DKI Jakarta, satu-satunya provinsi yang memperingati peristiwa ini secara rutin.
Tadi, sudah dijelaskan oleh pembaca tentang peristiwa Ikada, runtutan. Saya ingin kita semua yang berdiri di sini, bukan sekadar mengetahui atas peristiwa itu, tapi harus mengambil hikmahnya, apa yang sesungguhnya terjadi di balik peristiwa Ikada?
Tadi, tidak disebutkan berapa jumlah orang yang hadir dalam rapat di Ikada itu. Penduduk Jakarta hari ini, secara resmi adalah 10 juta 300 ribu. Ketika 300 ribu orang berkumpul di sini, itu hanya 3 persen dari seluruh penduduk.
Pada tahun 1945, ketika terjadi peristiwa Ikada, penduduk Jakarta 400 ribu, dan yang berkumpul di lapangan ini adalah 300 ribu, berkumpul di lapangan.
Belum ada Transjakarta untuk memobilisasi, belum ada WhatsApp grup untuk mengirimkan pesan, agar orang berangkat ke sini, belum ada telepon yang menjangkau semua penduduk, dan 95 persen penduduk Indonesia, saat itu buta huruf.
Hari ini, 300 ribu orang berkumpul di Monas, itu biasa. Tapi bayangkan di tahun 1945, saat peristiwa itu terjadi, apa yang membuat orang-orang muncul?
Sebulan sebelumnya, ada kemerdekaan di-deklarasikan. Satu paragraf dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Dunia mengatakan, itu adalah kemauan segelintir orang, itu adalah kemauan elite, kemauan orang-orang makan sekolah, tapi rakyat Indonesia tidak menginginkan kemerdekaan.
Berminggu-minggu kabar berita itu baru merambat ke seluruh Indonesia, tapi dunia, apalagi kekuatan kolonial, mengatakan itu bukan kemauan rakyat Indonesia. Lantas, apa yang terjadi?
Rakyat Indonesia bergerak? Mereka yang sering disebut anak-anak muda, tidak nampak di permukaan, tapi sesungguhnya yang menggerakkan adalah pemimpin-pemimpin di kampung-kampung, yang ada di seluruh Jakarta.
Mereka bergerak, dan mereka mengirimkan pesan bahwa yang ingin merdeka, bukan hanya kaum terdidik, tapi seluruh rakyat Indonesia, menginginkan kemerdekaan.
Karena itulah, kemudian mereka bergerak, dan apa yang terjadi? Pada tanggal 19 September, 300 ribu orang berkumpul di tempat ini, mengirimkan pesan kepada semua, termasuk kepada para pemimpin-pemimpinnya.
Kalau Bapak Ibu baca catatannya, sebagian dari anggota kabinet tidak menginginkan ada pertemuan Ikada itu. Jadi, tidak kemudian semua sepakat, tidak.
Semua bergetar menyaksikan 300 ribu orang berkumpul di tempat ini. Siapa yang berkumpul di sini? Mereka yang berkumpul adalah orang kampung.
Orang-orang dari kampung-kampung, masyarakat biasa, tak terdidik, mereka yang menginginkan kemerdekaan. Mengapa? Saya sering garis bawahi, kemerdekaan itu bukan sekadar menggulung kolonialisme, kemerdekaan itu adalah menggelar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, mereka berkumpul di sini, mereka menginginkan ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mereka yang paling merasakan, yang disebut dengan penjajahan.
74 tahun kemudian, kita berkumpul kembali di tempat ini. Saya ingin kita mengambil hikmahnya.
Bahwa buah dari kemerdekaan tidak boleh hanya dinikmati oleh mereka yang hari ini sudah maju, mereka yang hari ini sudah terdidik, mereka yang hari ini sudah berkembang.
Buah kemerdekaan, harus bisa dirasakan oleh rakyat-rakyatnya yang hari ini masih tinggal di kampung-kampung, di seluruh Jakarta.
Kita berada di sini, memperingati gerakan warga kampung. Kita berada di sini, memperingati orang-orang kampung yang berkumpul.
Karena itu, kalau kita ditanya siapa tokohnya? Kita tidak bisa menyebutkan tokohnya, karena ini bukan peristiwa yang dipimpin oleh 1-2 orang tokoh, ini adalah peristiwa 300 ribu rakyat bawah, rakyat kebanyakan.
Karena itu, miris rasanya bila hari ini kita menomorduakan orang kampung, miris rasanya bila kita merendahkan orang kampung, karena kemerdekaan itu, sesungguhnya ditopang oleh orang-orang kampung, yang tidak pernah dikenal namanya.
Mereka yang nampak di panggung, kita tahu nama-namanya, ditulis dalam buku sejarah, tapi yang sesungguhnya berada di garis depan adalah orang-orang kampung yang tidak pernah kita kenal namanya.
Karena itu, saya mengajak kepada semuanya, khususnya DKI Jakarta, yang bergerak adalah warga asli Jakarta, yang jumlahnya 300 ribu.
Saya bayangkan, kota Jakarta saat itu kampung-kampung kosong, karena 300 ribu dari 400 ribu penduduknya itu, pergi ke tempat ini. Tinggal orang tua, anak-anak, yang lain berangkat semua, laki-laki dan perempuan.
Ini adalah gerakan nyata. Hanya Jakarta yang memperingati. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta punya kewajiban moral untuk membela dan mengembalikan manfaat kemerdekaan, pada orang-orang kampung yang ada di Jakarta.
Ada tambahan peristiwa penting di situ. Tadi disebutkan Bung Karno datang, Bung Karno bicara salah satu pidato paling singkat, lebih singkat daripada yang diucapkan tadi.
Intinya adalah meminta pulang dan mengirimkan salam merdeka. Ini yang sama-sama kita harus ingat, bahwa Pekik Merdeka yang sering disebut sebagai Salam Kemerdekaan, Salam Kebangsaan tidak pernah dilakukan dengan tangan mengepal. Tidak pernah dengan tangan mengepal.
Salam Kemerdekaan itu dengan tangan terbuka, salamnya bukan untuk memukul, salamnya untuk merangkul. Karena itu bukan kepalan, tapi tangan terbuka. Tidak ada salam Merdeka dengan tangan mengepal, salam Merdeka selalu tangan terbuka, dengan senyum.
Mari kita kembalikan salam Merdeka sebagai salam untuk merangkul, bukan salam untuk memukul. Tidak mengepal, semuanya terbuka, perhatikan semua.
Bahkan tahun 1945, bulan November, Bung Karno membuat sebuah maklumat khusus tentang salam kebangsaan, salam merdeka. Kita harus lebih mendorong munculnya perasaan kebersamaan.
Tidak ada orang yang diberi salam begini dengan tangan terbuka dan senyum, lalu membalasnya dengan kepalan. Tapi bila kita mengirimkan dengan kepalan, maka kita akan jawab pula dengan kepalan.
Mari di Jakarta, kita tunjukan salam kita untuk mempersatukan, bukan untuk mengkotak-kotakan dan mencerai-beraikan.
Kita kembalikan salam itu, peristiwa Ikada adalah peristiwa di mana Pekik Merdeka pertama kali digaungkan, dan sesudah itu, dia menjadi salam sapa ke mana saja, siapapun yang disapa dengan kata merdeka, maka ada perasaan ‘Kami sebangsa, kami seperjuangan’.
Di pagi yang cerah dan sejuk ini, kita di DKI Jakarta, mendapatkan kesempatan untuk merefleksikan. Saya sampaikan beberapa poin.
Saya berharap sesudah ini, mari kita teruskan dan mari kita luruskan, bahwa Pemprov DKI Jakarta harus memiliki komitmen untuk membela, mengembangkan, dan memastikan mereka yang masih di bawah, bisa mendapatkan kesetaraan kesempatan.
Ini bagian dari kita membayar balik atas usaha warga-warga tak dikenal, yang mendorong dan menjaga kemerdekaan.
Selamat bekerja, selamat menjalankan amanat, dan mari kita laksanakan hikmah dari peristiwa Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Jawaban Menyejukkan Anies saat Bantuan Relawan Pemprov DKI Ditolak
[/su_box]