Ngelmu.co – Sudah lebih dari 50 nyawa melayang saat unjuk rasa di negara demokrasi, Indonesia. Setidaknya, 52 orang meninggal dunia dalam demonstrasi yang dijalankan hingga Oktober 2019. Angka ini berdasarkan data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas HAM.
Lebih dari 50 Nyawa Melayang saat Unjuk Rasa
Jangankan yang baru terjadi, seorang ayah bernama Didin Wahyudin, masih bertanya-tanya, siapakah yang telah menembak sang anak, Harun Al Rasyid, lima bulan lalu, tepatnya Rabu, 22 Mei silam.
Meski pihak kepolisian sempat menyatakan, telah mendapatkan ciri-ciri orang yang menembak Harun, tapi hingga kini, pelaku belum juga terungkap.
Informasi mengatakan, Harus memiliki luka tembak yang bersarang di dadanya. Namun, Didin mengungkapkan, jika dirinya tak pernah melihat luka tembak tersebut.
Saat ia menjemput jenazah anaknya di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, tubuh Harun sudah dibersihkan, dan dibalut kain kafan.
Ia juga tak memegang hasil otopsi anaknya, bukti proyektil, bahkan, pakaian yang dikenakan anaknya saat tertembak pun tak diserahkan padanya.
“Terus terang saja, polisi seperti tidak ada indikasi untuk membuka semua ini,” kata Didin, seperti dilansir BBC.
Harun merupakan satu dari sembilan orang yang tewas dalam demonstrasi, saat mereka menentang hasil pemilihan presiden di Jakarta.
Satu korban lain, menurut Komnas HAM, juga ada yang mati tertembak di Pontianak, Kalimantan, dalam aksi serupa, yang diadakan tanggal 21-23 Mei tersebut.
Empat orang dinyatakan meninggal karena ditembak, satu orang meninggal karena kehabisan napas usai terkena gas air mata, dan empat orang lainnya tewas tanpa keterangan resmi.
Catatan YLBHI
Namun, bukan hanya demonstrasi pada Mei 2019 yang menelan korban nyawa. Dicatat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berikut data lainnya:
Tiga orang meninggal dunia tanpa keterangan resmi, dalam demo mahasiswa bertajuk ‘Reformasi Dikorupsi’, di Jakarta, 24 September 2019.
Dua orang meninggal dunia karena ditembak, dalam demo mahasiswa ‘Reformasi Dikorupsi’, di Kendari, 26 September 2019.
Sebanyak 37 nyawa melayang, tanpa ada informasi resmi, dalam aksi anti rasisme di Wamena dan Jayapura, 23-28 September 2019.
Namun, laporan yang dirilis oleh YLBHI ini, dibantah oleh Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra.
Menurutnya, pihak kepolisian sudah menyampaikan penyelidikannya terkait korban-korban meninggal dunia, khususnya pada kasus di Wamena.
“Sebab-sebab kematian adanya 33 korban meninggal dunia di Wamena itu adalah merupakan korban akibat rusuh,” kata Asep.
Ia tak menjelaskan hal ini lebih lanjut, saat BBC News Indonesia mencoba menghubunginya, Selasa (29/10) kemarin.
Tanggapan Atas Nyawa Melayang saat Unjuk Rasa Dinilai Belum Cukup
Sementara Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menilai, tanggapan kepolisian tetap belum cukup.
“Di kasus Wamena, meninggal karena kerusuhan ‘kan bukan penjelasan yang jelas. Masa mati begitu saja? ‘Kan harus jelas, mati luka tembak, terbakar, terbunuh, dan lain-lain,” tegas Isnur.
Selain itu, YLBHI juga mencatat, hingga Oktober 2019, ada ratusan demonstran yang mengalami perlakuan berlebihan dari aparat kepolisian, hingga menyebabkan luka, pun penangkapan tanpa alasan.
Pembatasan-pembatasan untuk para demonstran pun muncul, seperti dipersulitnya demonstran dari Semarang untuk mengikuti demonstrasi di Jakarta, 24 September lalu.
“Ini sangat mengerikan, kalau dibaca dalam kaca mata negara hukum, HAM, dan demokrasi,” tutur Ketua Umum YLBHI, Asfinawati.
“Seingat saya, belum ada pasca reformasi, aksi dalam setahun menelan korban jiwa sebanyak ini,” sambungnya.
Siapa Dalangnya?
Sampai detik ini, kepolisian masih belum mengungkapkan, siapa saja ‘dalang’ yang bertanggung jawab, atas kematian sejumlah demonstran di beberapa wilayah Indonesia itu.
Komnas HAM mengatakan, terkait demo menentang hasil Pemilu Presiden, 21-23 Mei 2019, polisi harus segera mengungkapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab, atas kematian 10 orang, di Jakarta dan Pontianak.
“Hal ini untuk mencegah terus berkeliarannya pemegang senjata api gelap di tengah masyarakat,” ujar salah satu anggota Tim Pencari Fakta Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara.
Beberapa anggota Polri, lanjut Beka, bertindak sewenang-wenang dalam menjaga aksi demonstrasi tersebut.
Sebab, dalam laporan itu, anak-anak yang ditangkap mengaku diseret, dianiaya, dikeroyok, dipukul, hingga ditendang oleh polisi.
Jelas, Komnas HAM menilai tindak kekerasan anggota kepolisian itu, disebabkan emosi akibat mengetahui pembakaran asrama Polri di Petamburan, Jakarta Barat, serta tak mampunya mereka mengendalikan emosi akibat kelelahan.
Komnas HAM juga menilai tindakan sejumlah kepolisian berlebihan, saat menjaga rangkaian demo mahasiswa bertajuk Reformasi Dikorupsi.
Seperti apa yang dikatakan Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
6 Polisi di Kendari Terima Sanksi Disiplin
Sementara di Kendari, enam orang polisi hanya dikenakan sanksi disiplin, setelah kedapatan ‘menyalahgunakan senjata api’, dalam demonstrasi yang menewaskan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), 26 September 2019 lalu.
Polisi masih belum menyimpulkan, siapakah yang melakukan penembakan kepada dua mahasiswa tersebut, meski sudah ada enam orang telah menerima sanksi.
Hal tersebut juga diamini oleh komisioner Kompolnas, Poengki Indarti, yang ikut mengawasi penyelidikan terhadap kasus ini.
“Belum terbukti (yang membawa peluru yang melakukan penembakan). Sedang uji balistik untuk pelurunya,” kata Poengki.
Sebelumnya, polisi telah berkukuh, bahwa apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur.
Poengki mendukung pernyataan itu, dengan mengatakan, kekerasan boleh dilakukan kepolisian, jika massa demonstrasi bertindak anarkis.
“Polisi boleh menggunakan kekerasan yang terukur, ketika menghadapi massa-massa yang anarkis, seperti pembakaran atau tindakan-tindakan bahaya seperti melempar konblok,” ucapnya.
“(Tindakan itu) memang harus ditindak tegas dengan kekerasan, tapi yang terukur, misalnya dengan gas air mata dan pentungan,” imbuh Poengki.
Baca Juga: Mahasiswa Korban Unjuk Rasa yang Sempat Kritis Akhirnya Meninggal Dunia
Namun, sebagai Ketua Umum YLBHI, Asfinawati tidak sependapat dengan Poengki, terutama, karena tidak ada batasan yang jelas, tentang apa yang dimaksud dengan ‘tindakan anarkis’.
“Itu (tindakan represif) berarti tidak perlu pengadilan dong? Itu melanggar konsep negara hukum,” tegasnya.
YLBHI Pertanyakan Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut Asfi, polisi seharusnya bisa menjunjung tinggi hukum, terutama asas praduga tak bersalah, dan tidak memperlakukan para demonstran dengan semena-mena.
Terkait aksi-aski kepolisian yang semakin represif, Asfi meminta, agar Kapolri bisa melakukan pengawasan serta evaluasi secara menyeluruh, kepada anggota-anggotanya.
Evaluasi itu, harus dilakukan dari sistem pendidikan para anggota polisi, hingga ke arahan-arahan yang diberikan para petinggi kepolisian kepada anak buah mereka, saat melakukan penjagaan demonstrasi.
“Kalau tidak dilakukan, akan makin banyak jatuh korban ke depannya,” pungkas Asfi.