Ngelmu.co – Mengenai isu radikalisme yang berkembang di tengah masyarakat, Presiden Jokowi mewacanakan untuk mengganti diksi radikalisme dengan istilah ‘manipulator agama’. Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha sepakat dengan wacana tersebut jika memang pemerintah serius memerangi radikalisme dan menjaga Pancasila.
“Konsistensi kita sendiri dalam melawan radikalisme musti dasarnya keseriusan dan kepandaian. Benar-benar fokus menghadapi radikalisme sebagai ‘kenyataan politik’, bukan ‘komoditas politik’. Sebab, kalau salah, justru bisa back fire terhadap Pemerintah dan menciptakan ill-feel di masyarakat,” Kata Arya, seperti yang dikutip dari Akurat.co, Sabtu (2/11/2019).
“Jadi kalau tiba-tiba diganti istilah ‘Manipulator Agama’ jangan hanya Manipulator Agama. Sebab itu terkesan yang sebenarnya dilawan bukan Radikalisme dalam semua tipe yang merupakan ‘kenyataan politik’, tapi simply bisa terkesan tujuannya hanya untuk ‘komoditas politik’, menyiptakan ketakutan terhadap lawan yang dibesarkan sendiri secara imajinasi,” tambah Arya.
Tak Hanya Soal Keyakinan Agama
Master bidang Studi Strategis dari Rajaratnam School of International Studies RSIS Nanyang Technological University NTU ini, menyatakan bahwa radikalisme tak hanya soal keyakinan agama saja. Melainkan memiliki tipe yang beragam dan juga berdasarkan motifnya.
Doktor lulusan Turki ini pun memberikan beberapa contohnya, seperti misalnya, radikalis kanan di Amerika Serikat (AS) itu identik dengan oposisi atau kontra terhadap sosialis, komunis, marxis, anarkis, demsis, progresif, liberalis.
Berbeda dengan radikalis kanan yang awalnya di Eropa, yang dikenal dengan ciri ekstirmis nasional, nativis ideologis, dan cenderung pada pendekatan otoritarian yakni secara praktik mereka mengambil bentuk sebagai fasis, Nazi, ultranationalist, chauvinis, xenophobi serba anti pendatang, rasis dan lain-lain.
Baca Juga: Ini Kata Jokowi dan Ma’ruf Amin Soal Larangan Cadar di Instansi Pemerintah
“Apabila demikian yang dibayangkan tentang Radikalisme, jadi lebih utuh sebagai ‘kenyataan politik’ dan kelihatan serius jaga Pancasila untuk menjaga keseimbangan fakta keragaman spektrum Kita. Jangan dipersempit dengan imajinasi tunggal: Manipulator Agama saja. Itu ‘komoditas politik’ namanya,” ujar Doktor lulusan Turki ini