Ngelmu.co – Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, mengkritik Surat Keputusan Bersama (SKB) dari 11 instansi pemerintah, soal penanganan radikalisme di ruang lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN).
SKB 11 Instansi soal Radikalisme
Menurutnya, tidak adanya bagian ASN terlapor untuk memberikan klarifikasi, sama saja seperti mengembalikan negeri ini ke tahun 1965.
“Mekanisme ini rentan fitnah. Ini seperti zaman 1965, tuduhan yang membunuh kapasitas seseorang. Labelling,” kata Haris, seperti dilansir Tempo, Ahad (24/11).
SKB itu, lanjutnya, sama saja dengan melegalisasi tuduhan radikal terhadap seorang ASN yang kritis.
“Akhirnya jadi juga legalisasi tuduhan radikalisme ini dituangkan dalam konstruksi kerja pemerintah,” ujar Haris.
“Padahal, Presiden Joko Widodo sudah mengoreksi istilahnya, bukan radikalisme,” imbuhnya.
Haris Azhar: Kritik bisa Disebut Radikal
Lebih lanjut Haris menilai, SKB ini menganggap kritik kepada pemerintah, sebagai perbuatan radikal.
“Kritik diputarbalikkan seolah sebagai radikalisme,” tuturnya.
Haris pun menduga, SKB ini akan menyasar ASN-ASN yang kritis terhadap kebijakan, yang dimanipulasi oleh penguasa.
Sebab, ASN sebagai orang lapangan, mengerti tentang kelemahan dari kebijakan-kebijakan tersebut.
“Kritik mereka kerap muncul dalam berbagai ruang dan kerumunan tertentu. Hal ini yang kemudian akan dilihat (dituduh sebagai radikal) oleh Rezim Jokowi Jilid II ini,” sebut Haris.
Haris Azhar: SKB Tak Miliki Cantolan Hukum
Sedangkan dari sisi mekanisme, SKB ini, kata Haris, akan meniadakan otoritas yang ada, seperti Ombudsman, inspektorat di kementerian/lembaga, atau Komisi ASN, dengan cara membuat portal laporan aduanasn.id, dan bisa mengambil tindakan sepihak.
SKB ini juga dianggap tidak memiliki cantolan hukum yang kuat. Sejumlah aturan yang dipakai, hanya hukum kelembagaan dari menteri-menteri yang ikut meneken SKB tersebut.
“Ini menandakan bahwa isu radikalisme, tidak memiliki definisi yang konkret, alias disalahgunakan oleh Fachrul Razi (Menteri Agama) CS,” kata Haris.
Dampak SKB ke Depan
Situasi dari SKB ini, ke depannya, dinilai bisa menghancurkan bangunan hukum dan konsep Hak Asasi Manusia (HAM), yang selama ini diperjuangkan dalam konstitusi.
“Seharusnya para pemimpin kementerian/lembaga rezim ini, menunjukan kualitas untuk memastikan kesejahteraan dan keadilan bersama-sama dengan para ASN,” kata Haris.
“Jadikan para ASN sebagai mitra. Sehingga, dari sisi ASN, mereka akan memiliki sense of belonging bagi institusi dan programnya. Bukan dengan menakut-nakuti seperti ini,” sambungnya.
Seperti diketahui, pemerintah menerbitkan SKB dari 11 instansi pemerintah, tentang penanganan radikalisme pada ASN, pada 12 November 2019 lalu.
Bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id, dengan menteri yang terlibat:
- Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo;
- Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian;
- Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly;
- Menteri Agama, Fachrul Razi;
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim; dan
- Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Di luar kementerian:
- Kepala Badan Intelijen Negara, Budi Gunawan;
- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Suhardi Alius;
- Kepala Badan Kepegawaian Negara, Bima Haria Wibisana;
- Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Hariyono; dan
- Ketua Komisi ASN, Agus Pramusinto, juga terlibat.
Baca Juga: Pemerintah Luncurkan Situs Pelaporan ASN Terpapar Radikalisme Negatif
Berikut 11 kriteria pelanggaran yang dapat diadukan melalui portal Aduan ASN:
- Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;
- Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar-golongan;
- Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repostInstagram, dan sejenisnya);
- Membuat pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan;
- Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial;
- Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;
- Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;
- Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaiimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislikes, love, retweet, atau comment di media sosial;
- Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;
- Melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial;
- Perbuatan sebagaimana dimaksud pada poin 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.