Ngelmu.co – Tak jelasnya kelanjutan kontrak pasokan gas untuk pabrik pupuk negeri, menjadi ancaman tersendiri untuk keberlangsungan produksi.
Pabrik Pupuk Negeri Terancam Berhenti Operasi
Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur PT Pupuk Indonesia Holding Company, Aas Asikin Indat, di depan Anggota Komisi VII DPR RI, Kamis (5/12).
Ia menyebut, banyak kontrak gas yang akan berakhir dalam 2-3 tahun mendatang.
Di mana perpanjangannya untuk pabrik-pabrik pupuk pun belum mendapat kepastian.
“Industri pupuk memerlukan pasokan gas yang jangka panjang, sementara ini, 2-3 tahun, kami harapkan bisa jangka panjang,” tuturnya saat rapat, seperti dilansir CNBC.
“Mayoritas gas berakhir di 2021-2022, dan banyak yang belum ada kepastian gasnya, termasuk alokasinya belum kami terima,” sambungnya.
Kondisi Disebut ‘Sangat Mengerikan’
Penjelasan itu pun mendapat beragam tanggapan. Salah satunya dari, anggota DPR, Kardaya Warnika.
Ia menyebut, apa yang dijelaskan Aas, menggambarkan kondisi yang mengerikan, karena beberapa pabrik pupuk terancam berhenti operasi.
“Melihat supply dan demand, bukannya ngeri. Tapi ini ngeri sekali!” ujar Kardaya.
Fakta terus diungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama PT Pupuk Indonesia dan pemangku kepentingan sektor ESDM yang bertanggung jawab memastikan pasokan:
- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas),
- BPH Migas, hingga
- Kementerian ESDM.
Lebih lanjut Aas mengatakan, selain soal kepastian pasokan, harga gas untuk pupuk juga dinilai masih terlalu tinggi.
Padahal, gas bumi merupakan bahan baku utama untuk produksi pupuk urea dengan komposisi kurang lebih 70 persen, dari total biaya produksi.
“Jadi, gas dalam biaya produksi itu menempati 70 persen, sehingga harga gas ini sangat berpengaruh pada harga pokok dari pupuk sendiri,” jelas Aas.
Harga rata-rata gas yang dikenakan untuk pupuk dalam negeri, kata Aas, ada di kisaran US$ 5,8/MMBTU.
Sementara, harga pesaing, bisa di rata-rata US$ 3,95 per MMBTU.
Baca Juga: Berikut Daftar Perusahaan BUMN yang Tercancam Gulung Tikar
Salah satu contoh di Pupuk Iskandar Muda, dijadikan contoh oleh Aas.
Di mana, ada dua pabrik dengan kebutuhan gas hingga 110 MMSCFD, tapi baru memiliki alokasi kepastian gas 30 MMSCFD.
“Jadi kurang 80 MMSCFC, sehingga dari dua pabrik, baru bisa jalan kurang lebih 1 pabrik,” ungkap Aas.
Meskipun sudah coba di-atasi dengan meneken perjanjian jual beli gas dengan Pertamina, tetapi perjanjian itu belum juga efektif.
“Jika tidak dijalankan, maka mulai 2020, dua pabrik di Iskandar Muda ini tidak bisa jalan,” beber Aas.
Sementara untuk Pusri Palembang, meski pasokan gas masih ada sampai 2023.
Namun, alokasi untuk 2024 juga belum terjamin, bahkan diperkirakan akan kurang.
“Gasnya belum ada, mungkin 2024, kalau ini tidak dipenuhi, pabrik di Palembang semua akan berhenti,” pungkas Aas.