Ngelmu.co – Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, seolah membisu atas terjadinya tindak kejahatan militer terhadap etnis Rohingya di negaranya. Dewan Rohingya Eropa (ERC) pun sangat mengutuk keras hal tersebut.
Gagal Membantah Kejahatan yang Dilakukan Militer di Bawah Pengawasannya
Bahkan, dalam persidangan di pengadilan internasional (ICJ), ERC menyebut, melalui sebuah pernyataan tertulis, Suu Kyi telah gagal membantah kejahatan yang dilakukan oleh militer di bawah pengawasannya.
Menurut pernyataan ERC, aktivis prodemokrasi ini hanya memprioritaskan posisi politiknya saja dibanding dengan hak asasi manusia, keadilan, serta akuntabilitas. Parahnya, kata Rohingya tak sama sekali keluar dari mulutnya selama memberikan pernyataan di ICJ.
Usai dirinya gagal menyebutkan istilah Rohingya saat persidangan berlangsung, Suu Kyi berserta tim hukumnya juga gagal memberikan bukti keadilan dan pertanggungjawabannya. Suu Kyi justru menolak tuduhan negaranya telah melakukan genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.
“Sebaliknya dia memberikan penolakan, pembelaan, dan penghapusan kejahatan-kejahatan genosida yang dilakukan oleh Panglima Senior Jenderal Min Aung Hlaing dan Militer Myanmar,” ujar pernyataan ERC, dilansir Anadolu Agency, Sabtu (14/12).
ERS pun lantas mendesak komunitas internasional untuk mendukung gugatan genosida di Rohingya di ICJ serta mengakui dukungan dari Gambia, Kanada, Belanda, kelompok etnis Myanmar, dan organisasi hak asasi manusia (HAM). Selain itu, ERC juga meminta agar ada keadilan dan akuntabilitas dalam kasus kekerasan terhadap Rohingya.
Gambia Melayangkan Gugatan
Gambia telah mengajukan gugatan genosida warga Rohingya yang dilakukan oleh militer Myanmar di pengadilan internasional. Gugatan yang dilayangkan pada bulan lalu itu disebut sebagai pencapaian bersejarah. Lantaran, Gambia memiliki kepemimpinan yang kuat dalam memperjuangkan keadilan.
“Ini adalah negara Afrika Barat yang berdiri tegak di tengah keheningan keadilan internasional dan pertanggungjawaban genosida terhadap Rohingya,” ujar pernyataan ERC.
Keadilan dan akuntabilitas kasus genosida yang terjadi di Myanmar adalah tanggung jawab setiap bangsa yang terikat secara moral. ERC menyebut negara-negara yang memiliki hati nurani terhadap hak asasi manusia dan keadilan telah menyerukan dukungan bagi Gambia.
ERC mendesak negara-negara Eropa dan seluruh negara di dunia untuk mendukung Gambia di persidangan internasional. ERC juga meminta kepada organisasi HAM dan LSM internasional untuk mengawal kasus genosida di Myanmar.
Membela Negaranya
Dalam persidangan yang digelar pada Rabu (11/12/2019) lalu ini, peraih Nobel bidang perdamaian 1999 ini, justru bersikeras membela negaranya dari tuduhan genosida.
Bahkan, ia mengatakan bahwa apa yang terjadi di Rakhnie pada Agustus 2017 lalu adalah respons kontraterorisme. Dan dia juga menyebut tuduhan yang diarahkan pada pihaknya tidak lengkap dan menyesatkan.
Ketika itu, kelompok milisi bersenjata Rohingya yang disebut dengan nama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) telah menyerang puluhan kantor polisi di Rakhine.
Kemudian, ditanggapi oleh militer dengan menurunkan pasukan ke wilayah tersebut hanay untuk memburu serta menangkap anggota ARSA. Suu Kyi tak menampik kekuatan berlebih memang digunakan militer negaranya.
“Tragisnya konflik bersenjata ini menyebabkan eksodus beberapa ratus ribu Muslim,” ujarnya dalam persidangan.
Baca Juga: Mesut Oezil Pertanyakan Ke Mana Negara Muslim Ketika Uighur Ditindas?
Menurut pendapatnya, Gambia telah memberikan gambaran faktual yang tidak lengkap dan menyesatkan. Banyak informasi yang keliru dan tidak tepat ketika disampaikan saat persidangan.
Amnesty Internasional menyebut, tercatat lebih dari 750 pengungsi Rohingya yang mayoritas adalah wanita dan anak-anak melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah militer di negara itu melancarkan operasi militer di Rakhine, tempat mereka tinggal pada Agustus 2017 lalu.
Dan, lebih dari 34 ribu nyawa warga Rohingya melayang lantaran terpanggang di rumah mereka yang sengaja dibakar oleh militer Myanmar. Sementara lebih dari 114 ribu orang habis babak belur dipukuli.
Tak hanya itu, masih ada sekitar 18 ribu wanita yang menderita, mereka diperkosa secara paksa oleh militer Myanmar dan lebih dari 115 rumah dibakar serta 113 ribu rumah telah dirusak.