Ngelmu.co – Neraca dagang Indonesia tak mampu bangkit dari keterpurukan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca dagang mencapai 3,1 miliar dolar Amerika Serikat, untuk periode Januari-November 2019.
Di mana ekspor mencapai 153,1 miliar dolar AS, sedangkan impor mencapai 156,2 miliar dolar AS. Masing-masing turun 7,6 persen (yoy) dan 9,88 persen (yoy).
Catatan ini disampaikan oleh Anggota DPR RI Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam.
Ia menjelaskan, dampak lanjutan dari kegagalan mencetak surplus perdagangan, terlihat dari beberapa hal, seperti tingginya defisit neraca transaksi berjalan, hingga kerentanan ter-depresiasinya nilai tukar Rupiah, terhadap dollar AS.
“Defisit neraca transaksi berjalan mencapai 22,5 miliar dolar AS, sepanjang Januari-September 2019, ini naik dari 21,2 miliar dolar AS, pada periode yang sama tahun lalu,” tuturnya.
“Data-data tersebut mencerminkan bahwa pemerintah gagal memperbaiki kinerja neraca dagang sepanjang tahun 2019,” sambung Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu, di Jakarta, Rabu (18/12).
Akhir-akhir ini, lanjut Ecky, rupiah memang menguat, tetapi bukan karena faktor fundamental, seperti perbaikan ekspor maupun investasi langsung, melainkan karena adanya potensi resesi di Amerika Serikat.
“Jadi, capital inflow melonjak. Namun, dana panas ini akan kabur lagi kalau ada gejolak,” jelas Ecky.
“Wacana pemerintah menyiapkan beberapa program di 2020 untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan perlu dipertanyakan,” imbuhnya.
Sebab, menurut Ecky, pada pertengahan 2019, pemerintah juga pernah mengungkapkan, sedang menjalankan berbagai jurus untuk mengatasi defisit.
“Tapi hasilnya zero,” kata Ecky.
Baca Juga: Semakin Bengkak, PKS Ingatkan Pemerintah Waspada Utang Multisektor
Anggota Legislatif dari Dapil Jabar III itu mengatakan, pemerintah tak bisa terus-terusan menyalahkan perang dagang AS-China, sebagai ‘biang keladi’ penurunan kinerja neraca dagang.
“Ini ‘kan bukan baru saja terjadi, sudah sejak dulu. Tetapi pemerintah gagal mencari celah untuk menyiasati penurunan nilai ekspor Indonesia,” ujar Ecky.
“Kalau negara lain bisa, kenapa kita tidak bisa. Harusnya pemerintah memaksa agar impor turun lebih tinggi, agar surplus neraca dagang (bulanan) bisa tercapai,” pungkasnya.