Ngelmu.co – Salah seorang ulama yang memiliki pengaruh besar di Malaysia, Mohd Asri bin Zainul Abidin, mengatakan jika negara-negara Islam di dunia tegas memboikot produk-produk China, bisa memberi dampak atau desakan untuk negara itu, agar menyudahi penindasan mereka terhadap etnis Uighur, di Xinjiang.
Mohd Asri juga mengingatkan, agar para politikus dan pemimpin agama dari negara-negara Muslim dunia, berupaya menekan ekonomi serta diplomatik lebih besar kepada China, atas perlakuan tidak manusiawi-nya, kepada etnis Uighur.
“Kita harus melangkah pada cara yang lebih luas, yakni memboikot produk-produk China. Mereka tahu kekuatan pembelian kita,” tuturnya, di sela acara KL Summit, seperti dilansir Tempo.
Jumlah umat Muslim dunia yang mencapai dua miliar jiwa, bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan dunia.
Maka, ia mengajak negara-negara Islam, untuk melakukan langkah nyata, karena Muslim Uighur merupakan saudara se-agama, yang sedang membutuhkan pertolongan.
Sebagian besar negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), telah menjadi sasaran kritikan para advokat hak-hak etnis Uighur.
Sebab, mereka dinilai tak berdaya, meski kasus etnis Uighur, nyata muncul ke permukaan.
Baca Juga: Sudah Menginjakkan Kaki di Xinjiang, Ustaz Azzam Sodorkan Fakta ke YM
Pada Juli 2019 lalu, sudah lebih dari 20 negara yang untuk pertama kalinya melakukan pemungutan suara, guna menerbitkan sebuah resolusi.
Pemungutan suara itu dilakukan sebelum Dewan HAM PBB menyerukan, agar dihentikan penahanan massal etnis Uighur di Xinjiang, China.
Sedangkan Ketua Eksil etnis Uigur Seeropa, Dolkun Isa, pada November 2019 lalu, mengatakan tidak ada alasan bagi dunia untuk berdiam diri.
Ia juga menyerukan, agar negara-negara di dunia, bisa memutuskan hubungan dagang dengan China.
Terlebih, Aktivis HAM telah menyatakan, jika China juga mencoba menghapus bahasa, budaya, dan agama Islam yang dianut etnis Uighur.
Bahkan, mereka juga dipaksa melepaskan simbol agama, seperti jilbab untuk perempuan, dan jenggot bagi laki-laki.
Tudingan terus muncul, meski pemerintah China tak henti menyangkal rentetan tuduhan itu.