Ngelmu.co – Awal tahun 2020 ini, Indonesia tengah dirundung berbagai masalah dan musibah. Mulai dari kasus Jiwasraya, banjir di Ibu Kota dan sekitarnya, hingga masuknya kapal China ke laut Natuna.
Kasus Jiwasraya
Dimulai dari kasus Jiwasraya yang sejak akhir tahun 2019 lalu menjadi sorotan publik. Hal ini berawal dari pengakuan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hexanda Tri Sasongko, ia mengatakan bahwa pihaknya tidak sanggup klaim polis kepada para nasabahnya sebesar Rp12,4 triliun.
Rp12,4 triliun bukanlah jumlah yang sedikit. Sebagaimana yang dilansir dari cnbcindonesia.com, hal ini dipicu oleh beberapa faktor.
Dalam dokumen Periode Penyehatan Jiwasraya, yang diperoleh CNBC Indonesia, disebutkan periode penyehatan Jiwasraya terbagi dalam lima periode, yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang. Pada Periode I, terungkap defisit pertama kali terjadi per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp 3,29 triliun.
“Isu utama perusahaan adalah adanya defisit yang disebabkan jumlah aset perusahaan yang jauh lebih rendah dari kewajibannya. Pada 2006, diketahui defisit perusahaan menembus Rp 3,29 triliun,” tulis dokumen tersebut.
Adapun defisit Jiwasraya ini semakin membengkak setiap tahun. Pada 2008, dua tahun kemudian, defisit secara internal dihitung mencapai Rp 5,7 triliun, ini di bawah angka yang diberikan aktuaris independen yang memperkirakan defisit pada 2008 mencapai Rp 8-10 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lalu melakukan audit kepada Jiwasraya untuk laporan keuangan 2006 dan 2007, dengan pendapat Disclaimer. Hal ini karena akuntansi Jiwasraya tidak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat polis (cadangan). Artinya penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Selain itu, terungkap juga 12 persoalan utama yang memicu perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan gagal bayar polis yang jatuh tempo, yakni sebagai berikut:
• Produk-produk yang merugi (negative spread dan underpricing, harga kemurahan).
• Kinerja pengelolaan aset yang rendah.
• Kualitas aset investasi dan non investasi yang kurang likuid.
• Sistem pengendalian perusahaan yang masih lemah.
• Tata Kelola perusahaan yang kurang baik.
• Sistem informasi yang tidak andal
• Kantor cabang yang tidak produktif.
• Biaya operasional yang tidak efisien
• Akses permodalan yang terbatas.
• Kurangnya inovasi di bidang produk dan layanan.
• Kualitas SDM asuransi yang terbatas dan budaya kerja.
• Sarana dan prasarana kerja yang belum modern.
Masuknya China Ke Laut Natuna
Selanjutnya, pada 24 Desember lalu, terdapat puluhan kapal nelayan China di perairan dekat Natuna, Kepulauan Riau. Menurut Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) kapal tersebut mulai terdetesi muncul di perairan dekat Natuna sekitar 10 Desember 2019 lalu.
Dilansir dari cnnindonesia, kapal-kapal itu masih berada di landas kontinen Indonesia pada 15 Desember. Bahkan, kapal tersebut mematikan alat radar automatic indentification system (AIS) mereka.
Akhirnya, pada 19 Desember, dilakukanlah pengusiran. Dan mereka nurut bergerak ke arah utara menjauhi perairan Indonesia. Meski sempat menjauh, rombongan kapal-kapal ikan China itu kembali memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia tak lama setelah itu, tepatnya sekitar 23 Desember.
Berdasarkan data radar, Bakamla semula mendeteksi kapal-kapal itu berjumlah belasan. Namun, ketika ditemui di lapangan, kapal-kapal ikan China itu berjumlah lebih dari 50 buah dan dikawal dua kapal penjaga pantai serta satu kapal perang Angkatan Laut China jenis fregat.
Meski Indonesia telah melayangkan protes terhadap China, pemerintahan Presiden Xi Jinping berkukuh bahwa kapal-kapalnya itu berlayar di Laut China Selatan, terutama di sekitar Kepulauan Nansha.
China menganggap pihaknya memiliki hak historis di Laut China Selatan sehingga kapal-kapalnya berhak berlayar dan mengambil ikan di perairan tersebut. Padahal, klaim itu tidak diakui oleh hukum kelautan internasional UNCLOS 1982.
Banjir Ibu Kota
Itulah dua masalah yang sedang merundung Indonesia hingga awal tahun 2020 ini. Ditambah lagi masalah banjir yang melanda beberapa wilayah di Jabodetabek. Dengan ketinggian air yang bervariasi, bahkan hingga memakan banyak korban.
Seperti di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menjadi wilayah terdampak banjir dengan jumlah korban terbanyak mencapai 16 orang. Disusul oleh Kabupaten Lebak (8), Jakarta Timur (7), Kota Depok (3), Kota Bekasi (3).
Sementara banjir di daerah lain seperti Jakarta Pusat, Barat, Kota Bogor, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bekasi masing-masing memakan satu korban tewas.
Kapusdatin Humas BNPB, Agus Wibowo mengatakan jumlah korban tewas akibat banjir Jabodetabek dihimpun dari data BPBD, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial.
“1 orang hilang, 3 orang hipotermia, 17 orang terseret arus banjir, 5 orang tersengat arus listrik, 12 orang tertimbun tanah longsor serta 5 orang masih dalam pendataan BNPB,” kata Agus
Banjir yang menerjang sebagian wilayah Jabodetabek akibat hujan intensitas tinggi yang turun sejak 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020.
Baca Juga: China Masuk Laut Natuna, Luhut Minta Jangan Dibesar-besarkan
Begitulah keadaan Indonesia saat ini, menyedihkan. Terlebih, ketika musibah justru dijadikan ajang untuk menjatuhkan dan menghujat. Mari sama-sama bergerak mencari solusi atau bahkan sekedar untuk introspeksi diri.