Ngelmu.co – Siapa yang Intoleran? Tahun 2002, saya memeluk Islam, sampai 2016, saya berdakwah, baik lewat tulisan, lisan, atau di media sosial. Tak ada tuduhan radikal, intoleran, apalagi anti-pancasila dan anti-NKRI.
Bahkan umumnya di Indonesia, tak ada tuduhan radikalisme, NKRI harga mati, koar-koar seolah negeri ini darurat toleransi atau segala hal semisalnya, semua baik-baik saja.
Indonesia itu indah, keren, sehari-hari saya yang Muslim, Opa-Oma yang Buddha, Papi-Mami yang Katolik, tante yang Kristen, biasa duduk satu meja, makan dan bercanda.
Adapun prinsip masing-masing, kita tak saling campur, adapun meyakini agama yang dipeluk sebagai kebenaran, itu harus.
Andai ada sedikit singgungan, itu biasa, selesai di meja makan.
Entah dari mana, sejak 2016 hingga kini, bermunculan manusia setengah intelegensia, teriak-teriak de-radikalisasi, darurat toleransi, main tuduh anti-pancasila dan anti-NKRI.
Anehnya, yang dibidik adalah yang selama ini teguh dengan syariat, yang sudah khatam bab toleransi, yang memang sudah include dalam ajaran Islam, sudah membumi di Indonesia.
Jadi, sebenarnya mereka ini kaum anti-agama—utamanya Islam—meski gelarnya agamawan.
Mereka jadikan dirinya standar toleran, paling Indonesia, paling pancasila, paling damai. Lihat saja:
Yang berusaha Islami dibilang Arabisasi,
Yang berusaha menepati sunnah dikata budaya Arab,
Yang pro-Islam dihina kadal gurun, unta.
Tapi mereka begitu permisif pada budaya barat.
Dulu, toleransi itu dimaknai, kamu nge-teh aku ngopi, kita ngobrol, sing penting ngombe bareng.
Sekarang, bagi mereka, toleransi adalah kalau mereka nge-teh, kita harus ikut nge-teh juga.
Lebih parah lagi, de-radikalisasi zaman ini dimaknai, kamu nge-teh, aku ngopi, maka kamu radikal kalau kopimu enggak dicampur sama teh-ku.
Toleransi yang maksa, toleransi yang enggak toleran.
Sementara kaum anti-agama itu ribut dengan isu yang mereka gaduhkan sendiri, saya dan keluarga, Papi-Mami, keponakan, menikmati hidangan pilihan masing-masing.
Kita saling hargai, saling terima, tanpa mencampur makanan satu sama lain.
Tanpa harus merasa pilihan hidangan yang lain radikal, dan merasa hebat dengan menuduh orang lain.
Jadi siapa yang intoleran? 😁😁😁
Oleh: Ustaz Felix Siauw
Baca Juga: Ustadz Felix Siauw: Amal yang Tertukar