Ngelmu.co – Tepat pada tanggal 9 Ferbruari ini, diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Juga bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia, yang disarankan oleh Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985.
Pada kesempatan ini, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto Ph.D yang juga sebagai dosen di Universitas Diponegoro ini, membuat sebuah uraian mengenai kondisi media mainstream saat ini.
Menurutnya, media harus segera melakukan introspeksi dengan sangat serius dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Berikut uraiannya yang berjudul “Refleksi Hari Pers Nasional: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi”.
Senjakala media mainstream. Itulah barangkali cara yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi media kita hari ini. Bukan karena diterpa oleh penetrasi revolusi digital, namun karena dia berhenti untuk menjadi relevan bagi publik.
Media mungkin boleh berganti, namun jurnalisme akan tetap ada. Media adalah bungkusnya, jurnalisme adalah isinya. Hari ini, demokrasi kita membutuhkan jurnalisme lebih dari sebelumnya. Hal ini karena demokrasi kita tengah mengalami proses regresi yang serius yang sangat rentan mengarah pada autoritarianisme.
Sayangnya, banyak peristiwa menunjukkan bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadikan dirinya sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik. Alih-alih mendorong konsolidasi, jurnalisme kita justru memunggungi demokrasi. Indikatornya sederhana.
Jurnalisme kita gagal bahkan untuk sekedar mengimplementasikan semibilan elemen paling dasar jurnalisme sebagaimana diungkap oleh Kovach dan Rosenstiel (2016). Elemen-elemen ini disarikan dari 21 diskuski kelompok terarah yang dihadiri 3000 jurnalis yang meliputi testimoni lebih dari 300 jurnalis di Amerika.
Uraian berikut ini akan menguraikan kegagalan jurnalisme kita untuk mengimplementasikan elemenelemen itu.
1. Jurnalisme adalah Kebenaran
Berita yang benar adalah ibarat oksigen bagi demokrasi. Dalam konteks pemilu, misalnya, pemilih melakukan pilihan politik berdasarkan informasi yang diperolehnya tentang seorang kandidat. Jika informasi nya salah, maka publik akan mendapat gambaran keliru dari seorang calon yang dipilihnya dan menghasilkan keputusan yang juga keliru. Dalam hal ini, masih maraknya kabar bohong dan ujaran kebencian menjelang pemilu 2019 adalah satu bukti bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadi rujukan demi menjernihkan polusi di ruang public kita.
2. Jurnalisme adalah Loyalitas Kepada Publik
Dalam pemberitaan yang hanya diisi oleh statement elit politik, maka suara public gagal dihadirkan dalam pemberitaan media. Salah satu contoh yang menarik baru-baru ini adalah satu studi yang dilakukan oleh peneliti Drone Emprit. Dalam kebijakan pemindahan ibu kota, data Drone Emprit menemukan bahwa merekam perbincangan di Twitter dengan isu ‘Pemindahan Ibu Kota’ yang didokumentasikan dari tanggal 1 – 18 Januari 2020.
Data ini terutama menyasar teks dan perbincangan di Twitter terkait dengan tawaran Presiden Jokowi terhadap investor di luar negeri dalam forum internasional Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) Senin, 13 Januari 2020 lalu. Drone Emprit menunjukkan dari total Tweet sebanyak 15.005 yang muncul ada 10,336 (69%) yang memiliki pandangan negatif tentang pemindahan ibu kota, dan hanya 4275 (28%) memiliki pandangan positif atau mendukung pemindahan ibu kota serta sebanyak 394 (3%) beropini netral.
Sayangnya berlawanan dengan sentiment negative netizen di dunia maya, bertaburan jejak digitial yang menunjukkan bahwa wacana yang dibawa oleh media mainstream sebagian besar masuk dalam kategori sentimen positif dan mendukung narasi pemerintah dengan menjadikan mereka sebagai news sources utamanya.
3. Jurnalisme adalah Disiplin Verifikasi
Jurnalisme memberikan metode untuk mendapatkan kebenaran. Ia bernama verifikasi. Disiplin verfikasi ini sering disampaikan dalam anecdote: “even if your mom says she loves you, you have to check it.” Sayangnya banyak media yang melanggar salah satu prinsip paling esensial dalam kerja mereka ini. Kita bisa menjadikan peristiwa pengejaran KPK terhadap politisi PDIP Harun Masiku sebagai contohnya. Semula banyak media mainstream yang meberitakan bahwa KPK tak dapat menghadirkan Harun karena dia tengah berada di luar negeri sejak 6 Januari.
Penyebabnya adalah karena berita itu lemah dalam verifikasi. Mereka hanya menjadikan versi resmi pemerintah (Menteri Yasona dan komisioner KPK) sebagai sumber berita lalu memberitakannya begitu saja. Hanya Tempo yang melakukan verfikasi dan menemukan bahwa Harun memang pergi ke Singapura pada 6 Januari namun telah kembali ke Indoensia pada 7 Janauri terbukti dari rekaman data penerbangannya dan juga tangkapan CCTV.
4. Jurnalisme adalah Independensi.
Independensi media ini diuji dalam setiap momen pemilu. Sering terjadi media tidak netral dalam pemilu sampai pada level mempraktikan disinformasi. Sebagaimana tampak dalam pemilu 2014, TV One secara tidak akurat mengabarkan bahwa Prabowolah pemenang pemilu dan bukan Jokowi. Pada saat itu TV One yang dimiliki oleh ketua umum golkar Aburizal Bakrie mendukung Prabowo sebagai calon presiden. Tampak jelas TV One tidak bisa menjaga jarak dengan kepentingan ekonomi politik pemiliknya sehingga berita mereka menjadi bias.
Pada sisi ekstrem yang sebaliknya terjadi pada Metro TV. Pemberitaannya selama pemilu tidak dapat dipisahkan dari kepentingan ekonomi politik pemiliknya Surya Paloh yang merupakan ketua umum partai nasdem. Pada pemilu 2014, Metro TV secara eksplisit menyatakan mendukung Jokowi dengan membacakan tajuk Media Indonesia dengan judul “menyokong Jokowi”. Di kalangan ilmuwan komunikasi politik, terdapat perdebatan apakah media seharusnya berpihak atau netral dalam pemilu. Masing-masing memiliki argumennya sendiri.
Hal ini bersumber dari tradisi liberal Amerika Serika yang memang diwarnai pernyataan dukungan media di setiap pilpres. Namun mereka bersepakata bahwa media TV yang menggunakan frekuensi public seperti Metro TV dan ANTV tidak boleh berpihak. Apalagi jika keberpihakan itu hingga mengaburkan atau bahkan memanipulasi fakta. Sayangnya, Metro TV dan TV One tidaklah sendirian dalam ketidaknetralan mereka dalam pemilu. Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanto dan Hasfie (2019) menemukan bahwa setiap media tidak netral dalam derajad tertentu meskipun tidak seekstrim kedua TV itu.
5. Jurnalisme adalah Mengawasi Kekuasaan dan Menyambung Lidah Mereka yang Tertindas
Manifestiasi dari pengawasan pada kekuasaan ini paling baik tampakd alam praktik jurnalisme investigasi. Sayangnya, praktik jurnalisme investigasi bukanlah mainstream dalam media mainstream kita. Kita bisa ambil kasus temuan berkas Panama. Menurut Tempo, ada sekitar 800 nama pebisnis dan politikus Indonesia yang masuk daftar klien Mossack Fonseca. Dan ini membutuhkan kerja raksasa. Namun, sayangnya, investigasi bukanlah minat dari media kita pada umumnya. Selanjutnya media harus menyambung lidah mereka yang lemah.
Hasil kajian “Oxford Committee for Famine Relieve” (Oxfam) perihal tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia pada tahun 2017. Satu persen warga terkaya negeri ini menguasai hampir separuh (49%) kekayaan nasional. Sayangnya, dalam studinya atas media arus utama, Janet Steel (2011) mengungkapkan bahwa di era reformasi, sudah sangat sedikit pemberitaan yang memotret kemiskinan sebagai korban dari ketidakadilan struktural.
Hal ini berbeda dengan pemberitaan media pada masa sebelum Orde Baru tumbang, yang banyak membingkai kaum miskin sebagai korban pembangunan. Padahal jika mencermati data Oxfam di atas, ketimpangan struktural justru semakin meningkat di era reformasi. Untuk itu, media justru perlu lebih berperan dan mengambil inisiativ dalam upaya memerangi ketimpangan ekonomi yang ada jika ingin tetap berada di dalam hati publik.
6. Jurnalisme adalah Bahwa Media Harus Bisa Menjadi Forum Publik untuk Menyampaikan Kritisme
Partisipasi publik melalui komentar dan tanggapan merupakan bagian yang melekat dari proses jurnalisme. Hari ini, kemajuan teknologi digital sebenarnya memungkinkan terjadinya interaksi antara pembaca/audiens dengan media. Sayangnya, hal itu masih jarang kita temui dipraktikkan. Media daring kita masih banyak berkiblat pada media cetak konvensional. Bakan lebih buruk lagi, jika media cetak masih menyediakan klom khusus bertajuk surat pembaca, hampir tidak pernah ditemui ada media daring yang melakukan hal serupa.
Kemudian jika media cetak, seperti Kompas, menjadikan opini dari pembaca sebagai salah satu forum utama yang menjadi ruang yang dihormati dan disegani, media daring lebih banyak bertumpu pada berita. Kalaupun ada ruang bagi kolom untuk pembaca menulis, maka kolom itu tidak mendapat tempat yang disegani dan dicarii pembaca sebagaimana dilakukan Kompas. Kalaupun ada komen seperti Surat Pembaca bagi media daring, maka itu seringkali komentar langsung di bawah berita. Jika kita perhatikan, komentar itu seringkali dilakukan oleh akun yang tanpa nama (anonymous) yang menerang konten media dengan cara yang nir etika dan terlbih lagi nir fakta.
7. Jurnalisme Harus Memikat dan Relevan
Jurnalis tak hanya membuat artikel yang memikat pembaca karena sensasional, tetapi bisa menyajikan artikel penting dan relevan dengan cara yang menarik bagi pembaca. Sayangnya pada era digital ini justru banyak berita sampah yang mencari sensasi atas nama mencari clickbait atau mengejar rating. Salah satu berita sensasional yang mencari klikbait itu misalnya berita tentang mertua yang melaporkan menantunya terkait ukuran alat kelamin menantunya. Berita itu dimuat oleh Kompas.com pada 27 Maret 2019 berjudul: “Alat Vital Dianggap Terlalu Besar, Mertua Laporkan Menantu ke Polisi”. Berita itu juga diturunkan oleh Detik.com pada tanggal yang sama dengan judul: “Mertua Cabut Laporan Usai Lihat Alat Kelamin Menantu yang ‘Terlalu Besar’”.
Masih pada hari yang sama Surya mengangkat berita serupa dengan judul: “Sito Cabut Laporan Polisi Setelah Puas Lihat Alat Kelamin Menantunya, Ternyata Ukurannya…” Selain 3 media itu, ada setidaknya 21 media lain yang juga ikut memberitakan dengan judul yang mirip da nisi berita yang sama antara lain: aceh.tribunnews.com (28/3), pojoksatu.id (28/3), pantura7.com (27/3), liputan6.com (28/3), okezone.com (5/4), pelitabatak.com (28/3), regional.kompas.com (27/3), kaskus.co.id (27/3), manaberita.com (27/3), suarakarya.id (28/3), keepo.me (28/3), kabarsinjai.com (29/3), indozone.id (28/3), bugispos.com (27/3), sultrakini.com (28/3), exposeindonesia.com (27/3), jawarapos.com (27/3), suratkabar.id (27/3), prosumut.com (27/3), koreksi.id (27/3), seputarpangandaran.com (27/3) dan dream.co.id.
Meskipun disajikan dengan berbagai judul, berita itu berkisah tentang seorang mertua yang mengguga hukum menantunya karena anak perempuannya meninggal setelah sang menantu dan anaknyamenikah dan melalui malam pertama. Sang mertua berkeyakinan bahwa sang anak meninggal karena ukuran alat kelamin menantunya terllalu besar yang bisa menyebabkan kematian anaknya setelah mereka berhubungan suami istri.
Berita ini tidaklah mengandung kebohongan karena yang diangkat adalah fakta persidangan. Nampun pertanyaannya: apa arti penting berita ini bagi publik selain hanya membagikan sensasi? Ini adalah berita tentang kasus hukum yang menyangkut perseorangan dan bukan tohoh public yang dipilih dalam prosedur demokrasi. Berita ini dengan berbagai variannya hanyalah mengejar click dan rating alihalih mengusung nilai-nilai jurnalistik.
8. Berita Harus Proposional dan Komperhensif
Pemilihan berita sangat subjektif. Justru karena subjektif wartawan harus ingat agar proporsional dalam menyajikan berita. Ibarat sebuah peta, ada detail suatu blok, tapi juga gambaran lengkap sebuah kota. Di Indonesia terjadi apa yang oleh para pengamat media sebagai Java centrism yang berpusat pada Jakarta yang melanggar prinsip ini. Sebagaiman dilaporkan oleh riset Center for Innovation, Policy and Governance pada tahun 2013,sebagian konten media kita didominasi oleh Jawa baik sebagai tempat maupun sebagai satu entitas kultural yaitu sebesar 69%.
Lebih jauh, dari 49% dari 69% itu merupakan konten yang mengangkat isu yang berlangsung di Jakarta. Maka tidak mengherankan jika semua keresahan yang terjadi di Jakarta berubah menjadi keresahan nasional. Banjir yang berlangsung di Jakarta harus dilihat sebagai bencana nasional. Tensi politik yang tinggi yang mengiringi pemilihan gubernur Jakarta berdampak pada menaiknya suhu politik secara nasional. Mati lampu yang berlangsung “hanya” beberapa jam di Jakarta langsung menjadi headline di Korankoran nasional dan menjadi topic talk show yang serius di berbagai stasiun TV. Krisis representasi konten media yang hanya berisi tentang Jakarta (Jakarta-centris) ini tentu saja bertolak belakag dengan prinsip demokrasi yang mengandaikan perlunya representasi warga Negara dari Sabang sampau Merauke.
9. Mendengarkan Panggilan Hati Nurani
Setiap jurnalis harus memiliki semaacam kesadaran akan etika dan tanggung jawab diri sebagai semacam kompas moral. Mereka memiliki tanggungjawab untuk menyuarakan sekeras-kerasnya panggilan hati nurani mereka dan memberikan peluang selebar-lebarnya bagi pihak lain untuk melakukan hal yang sama. Salah satu manisfestasi dari hal ini adalah kemampuan seorang jurnalis untuk mendengarkan amanat hati nurani rakyat. Sayangnya kemampuan ini mulai menjadi barang langka dalam jurnalisme kita. Kasus pelemahan KPK melalui propaganda media social yang kemudian justru diamplifikasi oleh media mainstream bisa menjadi contoh di sini.
Dalam berbagai survei, KPK merupakan salah satu lembaga yang ada di hati public. Terbukti, ia merupakan lembaga yang paling diperaya oleh publik secara luas. Survei yang dilakukan oleh ISEAS pada tahun 2017, misalnya, menyatakan bahwa KPK dipercaya oleh 83,1% publik Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2018, survei LSI-ICW mengungkapkan bahwa 85% publik mempercayai KPK. Namun, legitimasi KPK ini kemudian dilemahkan melalui satu serangan propaganda komputasi oleh akun buzzer. Namun, media mainstream jsutru menyebarkan propaganda para buzzer untuk melemahkan KPK. Sebagaimana ditemukan oleh Drone Emprit, selama satu minggu menjelang disahkannya revisi UU KPK oleh DPR pada 17 September 2019, terjadi tsunami pembicaraan di media sosial sebanyak lebih dari setengah juta kali yang membahas KPK, pembicaraan itu terjadi di Twitter (539 ribu kali).
Tagar yang jadi vrial adalah narasi-narasi yang menudkung revisi UU yang akan melemahkan KPK berupa: #KPKdanTaliban, #KPKpatuhAturan, #KPKCengeng, #DukungRevisiUUKPK dan sebagainya. Yang mau disampaikan dari tagar itu adalah bahwa UU KPK memang perlu direvisi. Perlunya UU KPK direvisi ini karena berbagai alasan, antara lain, adalah karena KPK merupakan sarang Taliban. Menurut catatan Drone Emprit, apa yang menjadi trending topic di Twitter ini kemudian diamplifikasi oleh media arus utama media daring (62.300 kali).
Pemberitaan ini justru membantu buzzer untuk semakin menyebarluaskan propaganda bahwa KPK adalah Taliban atau sarang radikalsime. Penyebarluasan itu tentu saja tidak mesti dengan memembnarkan isu propaganda itu sendiri. Penyebaran itu bahkan bisa dilakukan dengan mengangkat berita yang seakan-akan mengklarifikasi propaganda media social. Karena terlepas dari isi pemberitaannya nya memebanrkan atau menolak, dengan memberitakan ini secara masiv maka artinya membiarkan isu KPK adalah taliban untuk masuk ke dalam kesadaran publik.
Di sini teori agenda setting berlaku yaitu bahwa media masa selalu berhasil untuk menggiring kita untuk mengarahkan perhatian kepada topic tertentu sesuai dengan agenda media terlepas dari kita setuju atau tidak. Berikutnya teori propaganda mengungkapkan bahwa kebohongan yang diulang-ulang maka akan terasa seperti kebenaran. Pesan apa yang dapat kita lihat manakala 9 elemen jurnalisme gagal dipenuhi seperti uraian di atas? Yang terjadi kemudian adalah defisit demokrasi sebagai res-publica di mana public dan segenap apirasinya seharusnya mendapat tempat utama.
Baca Juga: Skandal Ilmiah Demi Mempersatukan Indonesia?
Media dan jurnalisme kita justru menjadi corong dari elit yang juga memunggungi nilai-nilai demokrasi, dipenuhi bias dan sensasi, urung menegakkan indepensi dan menjalankan disiplin verfikasi. Harus disadari bahwa ketika demokrasi runtuh dan berubah menjadi otoriterisme, salah satu korban pertamanya adalah kebebasan media! Dalam keadaan ini, media harus melakukan istrospeksi dengan sangat serius dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Semakin ditinggalkannya media mainstream oleh publik, seharunya menjadi peringatan sangat kuat bahwa mereka harus berubah, atau justru musnah!
Selamat Hari Pers Nasional!
Jakarta, 09 Februari 2020
Wijayanto, Ph.D Direktur Center for Media and Demcracy, LP3ES Dosen Universitas Diponegoro