Ngelmu.co – Momen geser 5 langkah ke kanan yang tak terlupakan. Ketika semua urutan acara Kembara (Kemah Bakti Nusantara), yang diselenggarakan oleh DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jakarta, sejak 14-16 Februari 2020, disempurnakan dengan makan bersama di ujung pelaksanaan.
Bukan berarti acara selain itu kurang bermakna. Semua materi dan simulasi sangat menginspirasi.
Bahkan, muncul niat untuk diet lagi, setelah Dr Fatah Nurdin, memaparkan soal hak-hak tubuh.
Hanya saja, ingatan soal keseluruhan acara, didominasi sebuah momen yang tak terlupakan.
Secara pribadi, saya akan selalu tersenyum jika mengingat momen itu. Momen geser lima langkah ke kanan. Momen yang benar-benar tidak di-prediksi oleh siapapun.
Panitia hanya mengajak untuk mengakhiri kegiatan hari itu, dengan acara makan siang bersama, di mana makanannya pun dibawa oleh masing-masing peserta.
Berbekal makanan yang disiapkan di tenda masing-masing, dengan segala problematikanya, peserta pun memenuhi lapangan, membawa bekalnya.
Ada yang hanya masak mie goreng, rendang, hingga ketoprak hasil belanja.
Dengan asumsi acara ini sekadar formalitas untuk memenuhi kebutuhan dokumentasi panitia, dan berharap bisa mendapat sudut berita heboh dan ‘menjual’.
Setelah tiba di lapangan, dalam formasi saling berhadapan—dengan makanan di depannya—panitia meminta semua untuk berdiri.
Momen Geser 5 Langkah ke Kanan yang Tak Terlupakan
Di sinilah perintah itu membuat siapapun terhenyak—saya tertawa geli melanjutkan tulisan ini—tiba-tiba panitia memerintahkan seluruh peserta, bergeser lima langkah, ke kanan.
Sontak, berbagai ekspresi muncul di wajah peserta, ada yang bingung, kaget, tak percaya, bahkan gembira luar biasa.
Bagaimana tidak, pasalnya, makanan yang kita bawa dan berada di hadapan, menunggu untuk disantap, seketika berganti kepemilikan.
Ia menjadi milik peserta lain, karena semua bergeser posisinya, menghadapi menu berbeda, milik peserta di sebelah kanan.
Mereka yang membawa menu alakadarnya, seperti nasi dan abon, kemudian berganti dengan nasi Kebuli, tentu seperti mendapat durian runtuh.
Sebaliknya, yang membawa menu ala restoran bintang lima, kemudian berganti dengan ketoprak yang sudah diaduk-aduk—bahkan sudah dicicipi sepertiganya—pasti sulit memperbaiki selera makan dalam hitungan menit.
Panitia berhasil membuat sesuatu yang sederhana, menjadi begitu luar biasa.
Pikiran kita menjadi terbuka dengan segala aspek dan kemungkinan yang bisa muncul dalam praktik ukhuwah.
Bukan sekadar sebar salam dan secara diplomatis mengatakan, ana uhibbuka. Itu terlalu klise untuk mengukur kedekatan kita.
Lihat dan perhatikan reaksi kita kemarin, se-siap apa kita bertukar makanan yang sangat remeh dan tidak besar nilainya?
Bandingkan dengan para sahabat Anshar kepada Muhajirin, yang menawarkan kuda dan tanahnya, untuk diberikan?
Bahkan menceraikan istrinya untuk dijodohkan, jika mereka mau.
Masih panjang perjalanan ukhuwah kita, memang tidak selalu harus di-seremonial-kan, sebab yang diam-diam juga banyak, sudah mengambil peran dalam meringankan beban saudaranya.
Mungkin juga, reaksi kita kemarin tidak sesempurna reaksi para sahabat, yang rela menawarkan minumannya kepada sahabat lain, yang sedang merintih kehausan, setelah peperangan, sampai akhirnya wafat bersama.
Namun, setidaknya kehadiran kita menunjukkan betapa kita masih rindu bertemu saudara-saudara kita lainnya.
Akhukum Fillah.
Oleh: Abu Marwan
Baca Juga: Dahsyatnya Kalimat ‘Dari PKS’