Ngelmu.co – Mengapa di era Joko Widodo (Jokowi), sejumlah politikus partai yang juga menjabat sebagai menteri, dinilai lebih sibuk mengurus partainya masing-masing, daripada negara?
Semakin terlihat, saat Indonesia sedang disibukkan dengan berbagai persoalan, salah satunya wabah virus Corona (COVID-19) yang harus segera ditangani.
Tetapi, di saat jam kerja, sejumlah menteri yang juga politikus itu justru mengurusi partainya.
Seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto—Ketua Umum Partai Golkar—yang pada Senin (9/3), menerima kedatangan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh.
Pertemuan yang diselenggarakan di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, itu juga dihadiri Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang [Wakil Ketua Umum Partai Golkar], dan Menkominfo, Johnny G Plate [Sekjen Partai Nasdem].
Di mana salah satu agenda pada pertemuan adalah pembahasan Pilkada 2020, sebagaimana disampaikan Ketua DPP Golkar, Meutya Hafid.
Tetapi selain itu, isu-isu terkini terkait ekonomi juga mereka bahas, sebagaimana dilansir oleh Kompas, Senin (9/3).
Pada pertemuan itu, usulan Paloh, soal parliamentary threshold naik menjadi 7 persen, di-sepakati Airlangga. Sementara presidential threshold, tetap 20 persen.
Tak sampai di situ, Paloh juga meminta agar Airlangga mengevaluasi sejumlah pasal yang bermasalah dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker).
Tak hanya Airlangga, Agus, dan Johnny, hal serupa juga pernah dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly [politikus PDIP].
Ia turut hadir, dalam konferensi pers Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang membahas Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terhadap kader partainya.
Saat itu, bersama partainya, Yasonna membentuk tim hukum untuk melaporkan penyidik KPK ke Dewan Pengawas.
Namun, ia mengklaim kehadirannya itu sebagai Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Bidang Hukum dan Perundang-undangan PDIP, bukan menteri.
Pengajar ilmu politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, pun mengomentari sikap mereka.
Ia menilai, pertemuan Menko Perekonomian Airlangga dengan sejumlah menteri dan Surya Paloh, merupakan lobi politik demi memuluskan Omnibus Law RUU Ciptaker.
“Karena banyak mendapat penolakan dari publik, khusus para buruh. Maka mereka merapatkan barisan untuk mengamankan RUU Omnibus Law, agar bisa di-sahkan sesuai dengan target mereka,” tuturnya, seperti dilansir Tirto, Kamis (12/3).
Ujang menilai, tak etis jika seorang menteri lebih mementingkan urusan partai, daripada mengurus pekerjaannya sebagai pejabat negara.
Menurutnya, para menteri itu seharusnya bisa membedakan, mana saat mereka dalam posisi pejabat negara, dan ketika sedang menjadi petugas partai.
“Namun, sepertinya pejabat kita memang terkadang tak acuh soal etika. Kadang-kadang tak merasa bersalah dan diterabas saja,” kata Ujang.
Lebih lanjut, ia pun meminta, agar Presiden Jokowi bisa bertindak tegas, memberikan peringatan kepada para menteri itu.
Sebab jika dibiarkan, bukan tak mungkin ke depannya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, karena mereka lebih mengutamakan kepentingan partai dibanding rakyat.
“Akhirnya rakyat hanya menjadi objek penderita. Bukan menjadi subjek dalam pembangunan dan politik,” tutup Ujang.
Baca Juga: Pengamat Ingatkan Jokowi soal Kemungkinan Buruk Jika Asing Kelola Aset Negara
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, pun mempunyai pendapat senada.
Ia menyayangkan sikap sejumlah menteri Jokowi yang lebih mementingkan kepentingan partai daripada negara.
Padahal, saat ini Indonesia sedang dilanda COVID-19, juga sejumlah permasalahan lainnya.
Berdasarkan Undang-undang (UU) pasal 1 Nomor 28 tahun 1999, secara eksplisit, sebenarnya penyelenggara negara tak boleh merangkap jabatan dengan kelompok lainnya.
Jika terjadi, dikhawatirkan, akan terjadi Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).
Apalagi dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, telah diatur bahwa seorang menteri harus mengetahui kedudukan, tugas pokok, serta fungsinya.
“Kalau mereka lebih mengutamakan kerja-kerja partai, bisa dianggap tidak profesional sebagai menteri negara,” kata Feri, Selasa (10/3).
Maka jelas, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas itu, meminta kepada para menteri Jokowi, untuk bersikap profesional.
“Ketika mereka pergi mengurus partai ‘kan tugas-tugas menteri mereka ditinggalkan saja, ini yang jadi masalah,” ujarnya.
Feri juga meminta, agar Presiden Jokowi, mengevaluasi kinerja sejumlah menterinya itu.
Sebab, ketika mereka menggunakan jam kerja untuk menjalankan kegiatan partai, dan lebih mengutamakannya daripada rakyat, maka yang dirugikan adalah publik.
“Kalau kaya begitu ‘kan yang rugi publik. Di saat rakyat membutuhkan mereka, [mereka] malah ngurusin partai,” pungkas Feri.
Terlepas dari itu, Staf Khusus Menkominfo, Dedy Permadi mengatakan, jika Menkominfo Jhonny, telah memberikan keterangan terkait dengan kritik di atas.
Jhonny menyatakan, pertemuan Partai Nasdem dan Partai Golkar merupakan bagian dari kerja untuk mendukung program pemerintahan Jokowi, terkait Omnibus Law.
Selain itu, ia juga mengklaim, pertemuan tersebut membahas soal wabah virus Corona.
Johnny juga mengatakan, jika menteri tidak dibatasi jam kerja kantor.
“Konfirmasi sudah disampaikan Pak Menteri, jadi saya tidak menambahkan konfirmasi apa pun. Kalau saya, merujuk ke statemen Pak Menteri saja,” jawab Dedy.