Ngelmu.co – Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menemui Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, Selasa (17/3) lalu. Ia mendapat tugas menyampaikan pesan khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), “Lockdown adalah kewenangan pemerintah pusat!”.
Kedatangan Tito ini, tentu sangat menarik dan menimbulkan tafsir politik. Mengapa Presiden Jokowi, harus secara khusus menyampaikan pesan itu kepada Anies?
Sehari sebelumnya, Senin (16/3), dalam jumpa pers di Istana Bogor, Jokowi sudah menegaskan hal itu.
“Kebijakan lockdown, baik di tingkat nasional dan tingkat daerah, adalah kebijakan pemerintah pusat,” tegasnya.
Apa itu tidak cukup?
Tampaknya ada kekhawatiran, instruksi Jokowi mulai tidak didengar oleh kepala daerah.
Selain Jakarta, sejumlah daerah sudah mulai melakukan lockdown secara terbatas. Termasuk Solo, yang dulu pernah dipimpin olehnya.
Tak lama setelah pertemuan itu, terungkap ada ‘pesan’ lain yang disampaikan Jokowi. Tim Siaga COVID-19 DKI, dirombak.
Ketua Tim, Catur Laswanto, menyatakan jika Tim Tanggap COVID-19 yang telah dibentuk Pemprov DKI Jakarta, diselaraskan dan disesuaikan dengan Keppres 7/2020.
Namanya pun berubah menjadi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di DKI Jakarta. Struktur dan komposisinya juga dirombak total.
Gugus Tugas itu, diketuai oleh Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNBD) yang dijabat oleh Sekda.
Anggotanya, semula hanya berisi para kepala dinas (SKPD) DKI, sekarang ditambah TNI, Polri, dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Apa artinya semua itu?
Sebagai kepala daerah, Anies tak bisa lagi bebas menentukan kebijakannya. Semuanya harus seizin pemerintah pusat.
Langkah pemerintah melakukan sentralisasi penanganan pandemi global ini, jelas menimbulkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran.
Ini merupakan langkah mundur!
Sejak merebaknya virus Corona, banyak kalangan yang meragukan dan mempertanyakan kualitas serta kemampuan pemerintah pusat.
Bukan hanya dari kalangan domestik, tetapi juga komunitas internasional. Semuanya bersumber pada rendahnya kualitas serta kapasitas kepemimpinan Jokowi, dan para pembantunya.
Menganggap remeh persoalan, dengan kebijakan yang berubah-ubah. Sangat terlihat pemerintah pusat ragu-ragu, gagap bin bingung menghadapi persoalan.
Sebaliknya, Anies Baswedan, menunjukkan kualitas dan kapasitas kepemimpinan yang kuat dan tanggap dalam menghadapi bencana. Pujian mengalir untuk Anies dan Pemprov DKI.
Hal ini, bila terus dibiarkan, akan menimbulkan fenomena ‘matahari kembar’, yang satu bersinar terang, sementara yang satunya mulai tenggelam di balik awan gelap virus Corona.
Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, bahkan secara lugas menyebut Indonesia sebagai negara tanpa pemimpin.
“A Nation Without Leader,” tegasnya, mengutip pernyataan tokoh senior Jawa Barat, Tjetje Hidayat Padmawinata.
Dilema Jokowi
Virus Corona sebagaimana ditulis oleh Benjamin Bland—seorang peneliti dari lembaga think tank Lowy Institute, Sidney—membongkar sisi kelemahan Jokowi.
“Pemerintahannya bersifat ad hoc dan pemikirannya kurang strategis,” tegas Bland.
Respons awal Jokowi, tulis Bland, sangat mengkhawatirkan, sementara tindakan dan ucapan Menkes Terawan, sering kontroversial.
Sinyal buruk inilah yang ditangkap oleh publik di Indonesia maupun komunitas internasional.
Semuanya jadi terang benderang. Tak bisa lagi ditutup-tutupi dengan pencitraan, apalagi pengerahan buzzer.
Penyebaran virus Corona, dan jumlah penderitanya yang sangat besar di Jakarta, menjadi dilema besar bagi Jokowi.
Ia di-hadapkan pada pilihan sulit, antara lockdown atau tidak? Pilihannya tidak sesederhana: Dimakan mati Bapak. Tidak dimakan mati Ibu!
Bila mengacu kepada besarnya jumlah penduduk, potensi sebarannya yang begitu masif, keterbatasan fasilitas dan tenaga medis, sesungguhnya tidak ada pilihan lain, kecuali lockdown. At all cost.
Jumlah penduduk Jakarta lebih dari 10 juta jiwa. Belum lagi bila dihitung dengan lebih dari dua juta pekerja komuter dari Jabodetabek.
Saat ini, di semua kecamatannya, telah terdapat warga yang positif Corona, atau setidaknya suspect Corona.
Secara eksponensial, penyebarannya dipastikan akan sangat besar. Jakarta bisa jadi kuburan massal.
Ada yang memperkirakan jumlah korbannya bisa lebih besar dari Italia, bila pemerintah salah mengantisipasinya. Sangat mengerikan!
Kementerian Kesehatan sudah mengisyaratkan akan adanya lonjakan jumlah penderita. Sudah dapat dipastikan, Jakarta yang akan paling menderita.
Sebaliknya, bila harus melakukan lockdown, Jokowi harus sangat mempertimbangkan kalkulasi ekonomi dan anggaran negara yang terbatas.
Lockdown, jelas tidak sesederhana kita menutup pintu. Semuanya langsung beres. Ada cost ekonomi, sosial, dan politik yang kudu dihitung cermat.
Inilah ujian sesungguhnya bagi Jokowi. Bisakah dia membuktikan tudingan banyak kalangan, bahwa dia pemimpin yang tidak punya kapasitas dan kualitas, salah besar?
Anda ingin dikenang oleh dunia seperti apa Pak Jokowi? Nyawa jutaan rakyat Indonesia menjadi taruhannya.
Oleh: Hersubeno Arief
Baca Juga: Bentuk Penghormatan, Anies Beri Insentif Tertinggi untuk Tim Medis COVID-19 di Jakarta
Baca Juga: Said Didu Tergelitik dengan Cara Pemerintahan Jokowi Tangani COVID-19