Ngelmu.co – Tidak pernah ada orang yang melihat Din Syamsuddin ‘marah’. Kesabarannya menghadapi segala musibah bangsa, sangat tinggi. Ia sopan, halus, dan bijak.
Dalam menyampaikan keluh-kesah, menghadapi keruwetan negeri pada saat ini pun di-iringi senyum. Sampai-sampai terkesan pada kita, ia tidak serius.
Saya hadir, ketika selesai suatu seminar tentang inkompetesi rezim mengelola negara pada Maret lalu.
Di sana, untuk pertama kalinya, Din, mengatakan akan menghubungi tokoh-tokoh bangsa untuk menyikapi kondisi bangsa, yang kian amburadul.
Ia menyerukan, bangsa ini segera membentuk koalisi besar orang-orang bijak.
Koalisi kebajikan (coalition of virtues) yang tidak hanya melakukan gerakan moral, tapi juga tekanan politik terhadap tembok-tembok kekuasaan.
Din berubah? Tidak juga.
Dalam menyerukan itu, ia tetap sopan, tanpa emosi, dan lagi-lagi penuh senyum.
Tapi bagi orang yang mendengar langsung kata-katanya, akan terasa seperti ledakan bom dalam benak dan jiwa.
Narasinya sistematis, terstruktur logis, bertenaga, dan mencerahkan.
Din, yang merupakan intelektual Muslim tamatan AS, dan kini duduk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI, memang komit dan cerdas dalam mengemban nilai-nilai Islam yang universal.
Kendati sebagai intelektual yang mumpuni, Din, tidak duduk di menara gading.
Ia turun ke lapangan untuk membimbing dan mencerahkan masyarakat menghadapi kondisi sosial, negara, dan bangsa yang karut-marut, yang tidak mereka pahami.
Maka kita melihat, Din, bersama puluhan tokoh bangsa lainnya ‘mendatangi’ Mahkamah Konstitisi, untuk menggugat Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi COVID-19.
Perppu ini memang hanya melayani kepentingan oligarki, menimbun utang luar negeri, melanggar Konstitusi, dan membuka jalan bagi terjadinya perampokan uang negara secara besar-besaran, tanpa sanksi hukum.
Kontras dengan sikapnya selama ini, yang terkesan kalem dan sangat berhat-hati, kali ini, Din, terlihat ‘galak’.
Artinya apa? Kita bisa menyimpulkan, bahwa negara dalam keadaan gawat.
Tujuan Din, dalam seruan itu adalah untuk memutus lingkaran setan korupsi di negeri ini.
Korupsi yang sistematik, dikendalikan negara, dan bersifat konspiratif.
Din, juga kecewa, tidak ada penyelesaian terkait skandal mega korupsi Jiwasraya, yang sangat mungkin melibatkan istana.
Koalisi yang ingin dibentuk Din, bersifat lintas agama, golongan, dan profesi.
Pemimpin dan penguasa, diserukan bertobat nasuha, demi menyelamatkan bangsa keluar dari musibah yang berisikan kerusakan akumulatif, epidemis, dan sistemik, karena bertumpu pada sistem.
Kerusakan yang menurut Din, semakin menjadi-jadi karena ulah pemangku amanah yang tidak jujur pada rakyat dan pada dirinya sendiri.
Jika pemangku amanah berdiri di atas keculasan, apalagi berisi penipuan dan kebohongan, maka negeri ini akan terpapar bencana demi bencana berkepanjangan.
Dalam keadaan seperti ini, ketika kita ogah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka alam akan bertindak.
“Saya sendiri tidak bisa hanya berkata-kata tanpa berbuat nyata, karena di dalam Al-Qur’an, dinyatakan demikian,” kata Din.
Baca Juga: Terbitkan Maklumat, Din Syamsuddin Ingatkan Pejabat Tak Khianati Amanat Konstitusi
Tulisan ini berniat menggemakan seruan Prof Din Syamsuddin, agar masyarakat, apa pun agama, ras, etnis, ideologi, dan golongan, membentuk koalisi besar untuk menghadapi rezim.
Rezim yang arogan, khianat, dan kepala batu ini. Ya, membangunkannya dari kebodohan.
Sebab, kalau keadaan memburuk—nampaknya sedang menuju ke sana—maka kita juga yang akan memikul akibatnya lebih besar.
Selasa (5/5), kembali rezim melakukan beleid salah dengan merelaksasi PSBB, yang akan membunuh rakyat lebih banyak.
Memperpanjang krisis Corona, dan tidak akan memperbaiki kondisi ekonomi rakyat.
Dengan kata lain, negara sedang mempercepat proses pembusukan dirinya sendiri.
Dalam situasi ini, kita akan menjadi warga yang tidak bertanggung jawab, kalau tidak mengantisipasi turbulensi sosial, ekonomi, dan politik, yang mungkin akan terjadi dalam waktu dekat mendatang.
Tanggung jawab kita adalah mengatur barisan, mengikuti dengan saksama perkembangan situasi nasional, dengan tetap istiqamah mengkritik kebijakan rezim.
Kebijakan yang membahayakan rakyat, bangsa, dan negara.
Saya tidak percaya situasi nasional akan kondusif pasca Corona, yang kita belum tahu kapan persis akan berakhir.
Pasalnya, kerusakan negara yang sudah terjadi jauh sebelum Corona, berada di luar kemampuan rezim untuk mengatasinya.
Ayo, mari kita ikuti seruan Din Syamsuddin.
Di bulan suci ini, mungkin puasa kita akan semakin berkualitas sejauh kita berperan untuk menghentikan segala sengkarut yang melilit leher kita, bangsa, dan negara.
Oleh: Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE), Smith Alhadar