Ngelmu.co – Siapa yang sudah mengenal Sultan Hamid II? Sampai detik ini, masih banyak yang tak mengetahui, jika dirinya adalah perancang lambang negara Indonesia, yakni Garuda Pancasila.
Mengapa demikian?
Sebab, namanya dilupakan, karena dituding terlibat upaya kudeta Westerling, 1950.
Faktanya?
Sultan Hamid II, pernah menjabat menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama.
Namun, jasanya dalam merancang lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, seperti dilupakan, usai ia diadili serta dihukum 10 tahun penjara.
Hukuman itu berkaitan dengan rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling, 1950.
“Dia dilupakan, karena dituduh terlibat peristiwa Westerling, termasuk ingin membunuh Sultan Hamengkubowo (Menteri Pertahanan saat itu),” kata Sejarawan, Taufik Abdullah, seperti dilansir BBC Indonesia, Selasa (2/6/2015).
Ada sekitar 800 orang pasukan KNIL pimpinan Westerling, yang pada 22 Januari 1950, menduduki sejumlah tempat penting di Bandung, setelah menghabisi 60 orang tentara RIS. Sebelum akhirnya mereka berhasil diusir.
Empat hari kemudian, di Jakarta, pasukan Westerling hendak melanjutkan kudeta. Tetapi kembali berhasil digagalkan, karena rencana bocor.
Diketahui, pasukannya hendak membunuh beberapa tokoh Republik, termasuk Menteri Pertahanan, Sultan Hamengkubuwono IX.
George Mc Turnan Kahin, dalam buku ‘Nationalism dan Revolution in Indonesia’ (1952), menulis jika setelah upaya kudeta itu digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan, Sultan Hamid ‘telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak sebagai senjata militernya’.
Meskipun membantah terlibat, pengadilan tetap menyatakan dirinya bersalah.
“Di situlah namanya habis. Dia dianggap pengkhianat,” kata Taufik.
Lalu, sejarah resmi Indonesia pun melupakannya.
Ketika pria kelahiran 1913 itu meninggal dunia—lebih dari 35 tahun silam—jasadnya tak di-makamkan di Taman Makam Pahlawan.
Ia seperti dihilangkan, meskipun memiliki andil dalam perancangan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.
“Sultan Hamid, sudah resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda,” ungkap peneliti sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin, Jumat (5/6/2015).
Sebagai menteri negara, Syarif Abdul Hamid Alkadrie, ditugasi oleh Presiden Soekarno, untuk merancang gambar lambang negara.
Hingga akhirnya ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang ia ketuai.
Konsep rancangan Sultan Hamid-lah, yang terpilih, dengan menyisihkan rancangan Muhammad Yamin.
“Meskipun (burung Garuda) itu belum berjambul, masih botak, dan cengkeraman (atas pita) masih terbalik,” kata Rusdi.
Baca Juga: Sejarah Penting Lahirnya Hari Sumpah Pemuda
Namun, menurutnya, fakta tersebut tidak banyak diungkap, setelah sang pencipta lambang menjadi pesakitan.
Ia Bukan ‘Dalang’ Kudeta Westerling
Setelah reformasi bergulir, sejumlah intelektual muda di tempat kelahiran Sultan Hamid II, yakni Kota Pontianak, Kalimantan Barat, menggugat ‘kebohongan sejarah’.
Ketua Yayasan Sultan Hamid II, Anshari Dimyati, melalui penelitian tesis master di Universitas Indonesia, menyimpulkan jika Ketua Majelis permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) itu, tidak bersalah dalam peristiwa Westerling, awal 1950.
“Sultan Hamid II, memang mempunyai niat untuk melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi dilakukan, dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan,” tegasnya, Selasa (2/6/2015).
Hasil temuan Anshari, juga menyimpulkan, jika perwira lulusan Akademi militer Belanda itu, bukan ‘dalang’ peristiwa APRA di Bandung, awal 1950.
“Dia bukan orang yang memotori, atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling, atas Divisi Siliwangi di Bandung,” ungkapnya.
Menurut Anshari, peradilan tak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid dalam kasus tersebut.
“Dia didakwa telah bersalah oleh opini dan statement media massa, yang memberitakan tentang kasus ini. Peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh faktor politik,” bebernya.
Terlepas dari itu, alumni Universitas Indonesia lainnya, Turiman Fachturrahman—melalui tesis masternya—menemukan bukti-bukti otentik.
Bukti-bukti itu menguatkan peran penting Sultan Hamid II, sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.
Selama empat tahun, Turiman, mengaku melakukan penelitian dengan menemui sejumlah pihak.
“Dan saya menemukan sketsa-sketsa dokumen (perancangan logo burung Garuda) yang diberikan Sultan Hamid, kepada Mas Agung,” jelas Turiman, Selasa (2/6/2015).
Salah satunya adalah sketsa rancangan lambang negara karya Sultan Hamid dan Muhammad Yamin.
Berdasarkan hasil liputan aktivis pers mahasiswa, Nur Iskandar, dalam tabloid Mimbar Untan, Universitas Tanjungpura Pontianak, Turiman, berhasil menemukan naskah asli rancangan lambang negara karya Sultan Hamid.
“Kami menelusuri lagi ke keluarga Kadriyah, dan kebetulan didapatkan naskah aslinya,” kata Turiman.
Korban ‘Kampanye Hitam’
Setelah itu, hasil penelitian Anshari dan Turiman, diterbitkan dalam buku ‘Sultan Hamid II, Sang Perancang Lambang Negara’, pada pertengahan 2013 lalu.
“Buku ini salah satu langkah awal publikasi, sehingga nama Sultan Hamid II, tidak perlu harus ditutup atau samar-samar dalam parade sejarah Indonesia,” demikian prolog buku tersebut.
“Dia bukanlah pengkhianat negara seperti black campaign pada masa kehidupannya. Namun, pahlawan negara yang karya ciptanya menduduki peringkat tertinggi di dalam struktur negara, yaitu lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila,” begitu yang tertulis pada buku mereka.
Kampanye terbuka, melalui pameran dan diskusi di berbagai forum, juga digelar oleh masyarakat Kalimantan Barat, demi ‘meluruskan sejarah’.
Lebih lanjut Turiman berharap, agar negara dapat mengakui jasa pria yang bernama asli Syarif Hamid Alqadrie itu, sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.
Diskriminasi Hukum
“Karena di dalam UU hak cipta, nama perancang harus disebutkan namanya, sama seperti perancang lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman,” tegas Turiman.
Pada UU nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, sambungnya, nama WR Supratman disebut dengan jelas, tetapi tidak ada nama Sultan Hamid II, di sana.
“Di sinilah ada diskriminasi hukum. Tidak satu pun pasal yang menyatakan bahwa lambang negara adalah rancangan Sultan Hamid II,” kritik Turiman.
Terlepas dari semua itu, bagaimanapun, Sultan Hamid II, hidup dalam masa-masa gelap revolusi Indonesia.
Ketika banyak kelompok yang masih bersemangat, membawa Indonesia ke arah yang sesuai persepsinya masing-masing.
Sejarah memang bukan matematika yang terukur jelas, dan tak jarang hanya dimiliki para pemenang.
Tetapi perlu ditegaskan, jika tak semestinya sejarah meniadakan jasa para pesakitan.