Ngelmu.co – Saat bangsa gelisah dirundung wabah, kabar cerah muncrat dari Ranah Minang. Bumi yang banyak melahirkan ‘Sang Pencerah’, mulai dari Tuanku Imam Bonjol, Hatta, Hamka, Sjahrir, hingga Rasuna Said. Di era kekinian, nama Andani, layak dicatat sebagai salah satu ‘patriot’ COVID-19.
Jika ditulis lengkap, nama pria berkumis dan berjenggot tebal ini adalah dr Andani Eka Putra, MSc.
“Kalau belum kenal, banyak yang mengira saya perempuan, karena nama depan saya,” ujar Andani, mengawali percakapan via telepon, Sabtu (6/6) malam.
Di Sumatra Barat, dokter berkacamata minus ini, bukanlah sosok yang asing.
Selain sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang, juga menjabat Direksi RS Universitas Unand.
Tapi kali ini, kita tempatkan dia dalam kedudukannya sebagai Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dia memang banyak berkecimpung di ranah virus, mulai dari rotavirus, hepatitis, HIV dan lain-lain.
“Alhasil, ketika virus Corona menyerang, saya tidak mungkin berpangku tangan,” tuturnya.
Dengan pasukan pekerja laboratorium yang berstatus mahasiswa, Andani, menorehkan prestasi, dalam hal kapasitas pemeriksaan sampel darah untuk mendeteksi COVID-19.
Ketika laboratorium lain hanya bisa menyelesaikan pemeriksaan 100 hingga 200 sampel per hari, laboratorium FK Unand, rata-rata bisa menyelesaikan 800 sampel.
“Angka tertinggi mencapai 1.570 sampel, dalam satu hari selesai,” kata lulusan FK Unand 1996 itu.
Bagaimana Andani, bisa bekerja dengan hasil yang begitu fantastis?
Bahkan, melampaui pencapaian hasil tiga laboratorium besar di Indonesia, yang dimiliki Kementerian Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman?
“Laboratorium yang kami pakai, awalnya adalah labotarorium riset milik saya pribadi,” ujar Andani.
“Hampir semua barang dan peralatan laboratorium milik saya,” sambungnya.
“Sebagian saya beli sendiri, sebagian pengadaan hasil kerja sama dengan perusahaan, untuk sebuah pengembangan produk,” lanjut Andani.
Baca Juga: Tirani Minoritas
Nah, ketika virus Corona mulai masuk Indonesia, ia pun bersiap-siap terlibat di dalamnya.
Demi membantu pemeriksaan di laboratorium, ia meminta, kesediaan para mahasiswa kedokteran Universitas Andalas, baik S1 pun S2.
“Alhamdulillah, mereka bersedia. Meski dari sorot matanya, saya bisa membaca binar-binar cemas, bahkan takut,” ungkap lulusan master Kedokteran Tropis UGM Yogyakarta tahun 2009 itu.
Guna keperluan pemeriksaan sampel COVID-19, Andani, diberi tempat lebih luas oleh Dekan FK Unand.
Sementara, Rektor Unand, juga mendukung dan memberi bantuan untuk memperbaiki ruangan labotatorium.
Izin lab, turun tanggal 19 Maret 2020, dan pertama kali pemeriksaan sampel COVID-19, tanggal 25 Maret 2020.
Saat awal menerima sampel darah, para ‘pekerja lab’ dadakan tadi, tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan ketakutannya.
Bahkan Andani, mendapati beberapa dari mereka sampai menangis. Ia memakluminya.
Spontan, Andani menjelaskan, cara kerja dan turun tangan mengerjakannya. Memulai pemeriksaan sampel darah, sekaligus memberi contoh.
Lama-lama, para mahasiswa mulai terbiasa. Bahkan, Andani memuji, loyalitas mereka yang sangat tinggi.
Andani, bahkan memasang target bisa memeriksa 300 sampel per hari.
“Sama seperti di bidang lain, maka laboratorium juga akan berjalan bagus, kalau pemimpinnya strong,” kata doktor lulusan UGM Yogyakarta tahun 2016 itu
Tak lupa, Andani, mengisahkan riwayat labotatorium miliknya.
Bahwa, sebelum digunakan untuk memeriksa virus Corona, semua peralatan lab dihibahkan ke FK Unand, yang jika dirupiahkan, totalnya tak kurang dari Rp2 miliar.
“Saya hibahkan semua ke fakultas, dengan harapaan bisa lebih produktif,” tambah dokter yang mengaku memiliki passion di bidang riset itu.
Dalam proses, datanglah bantuan alat PCR (Polymerase Chain Reaction) dari Wali Kota Padang.
Begitupun bantuan lain dari Pemprov Sumatra Barat, Paragon, dan banyak pihak lain yang mendukung.
Guna mempercepat pemeriksaan sampel, serta meningkatkan kapasitas, Andani, juga mengajukan permohonan pengadaan mesin ekstraksi.
“Di luar dugaan, dari target 300 sampel per hari, saat itu kami sudah bisa menyelesaikan 700 sampai 800 sampel,” akuannya.
“Maka jika kami dilengkapi mesin ekstraksi, hasilnya bisa 1.500 sampel per hari,” imbuh Andani.
Apa yang terjadi? Selagi permohonannya diproses, Andani, dan anak buahnya sudah berhasil menyentuh hasil pemeriksaan 1.500 sampel per hari.
“Itu karena kami bekerja 22 jam sehari. Mulai bekerja habis Subuh, pukul 05.30, dan baru selesai pukul 03.30 setiap hari,” bebernya.
Alhasil, ketika mesin ekstraksi datang, labotatorium FK Unand, bisa menyelesaikan 2.500 sampel per hari.
“Sampai hari ini, tidak ada satu pun labotatorium di Indonesia yang bisa melampaui hasil 1.100 per hari,” ungkap Andani.
“Baik laboratorium Litbang Kemenkeas, Litbangkes DKI Jakarta, dan LBM Eijkman. Sebab, di luar laboratorium kami di FK Unand, ya tiga itu saja yang terbilang besar,” lanjutnya, melaporkan hasil kerja kepada Ketua Gugus Tugas, Letjen Doni Monardo.
Sampai di titik ini, kita menangkap adanya kesamaan frekuensi antara Dr dr Andani Eka Putra MSc, dengan Letjen TNI Doni Monardo.
Bukan karena keduanya sama-sama berdarah Minang, tetapi ada satu benang merah di antara keduanya; sama-sama militan dan spartan.
Jika Dr Andani dan tim laboratoriumnya bekerja 22 jam sehari, demikian pula Doni Monardo dan sejumlah staf Gugus Tugas COVID-19 lainnya.
Jika Dr Andani dan tim bermukim di laboratorium Komplek FK Unand, kawasan Limau Manis, Pauh, Padang, Doni dan tim sudah hampir tiga bulan tidur di markas Graha BNPB, Jl Pramuka, Jakarta Timur.
Inilah teladan yang bisa menginspirasi kita.
Wabah tidak untuk diratapi atau dicaci-maki. Wabah harus di-hadapi dengan jiwa patriot sejati.
Jiwa Andani dan Doni, adalah jiwa yang dibutuhkan bangsa ini melawan wabah yang entah kapan bakal enyah.
Wujud Nasionalisme
Totalitas bekerja Andani dan timnya, tak bisa diragukan, adalah wujud nasionalisme tertinggi.
Seperti yang ia kemukakan kepada anggota lab, bahwa sejak awal, Andani, sudah tegas mengatakan yang mereka kerjakan semata-mata untuk bangsa dan negara, atas nama kemanusiaan.
Tidak peduli soal honor, bahkan tidak peduli bagaimana mereka bisa hidup sehari-hari.
“Bahkan, untuk makan sehari-hari, kami dibantu oleh para donatur,” kata Andani.
“Selalu saya tekankan, bekerjalah dengan ikhlas. Ada atau tidak ada imbalan, jangan sekali-kali dipikirkan. Ini saatnya berjuang,” sambungnya semangat.
Kini, mereka bahkan tidak saja bisa bekerja untuk Sumatra Barat, tetapi juga bisa membantu daerah-daerah lain.
Surabaya yang sedang diguncang besarnya angka korban yang terpapar, pun mendapat tawaran untuk memeriksakan sampelnya ke Padang.
Sebelumnya, ia sudah membantu permintaan tolong pemeriksaan sampel COVID-19, dari Palembang, Kabupaten Sambas, Kalbar, Bengkulu, dan beberapa daerah lain.
Tanpa disadari, hadirnya Andani dan tim laboratoriumnya, melahirkan satu pola penanganan COVID-19 tersendiri, yang bisa ditiru, bahkan diterapkan di daerah lain.
Sebagai contoh, statistik nasional, pasien positif yang dirawat di RS sebesar 66 persen.
Sedangkan di Sumatra Barat, persentase yang dirawat di RS hanya 16 persen.
“Nasional terjebak pada pemeriksaan PDP, sedangkan kita langsung ke OTG,” jelas Andani.
Tentang itu, ia punya analogi yang menarik, yakni mana lebih baik, menangkap harimau di dalam kandang, atau menangkap harimau yang berkeliaran di rimba.
OTG adalah ibarat harimau yang berkeliaran dan bisa memangsa siapa saja.
Atas analogi itu, Andani, menjawabnya sendiri, “Jelas lebih baik menangkap harimau di rimba, ‘kan?”
Ia menambahkan, yang dilakukan adalah pemeriksaan PCR, bukan rapid test.
“Sudahlah, kalau boleh saran, tinggalkan pola rapid test, yang bahkan WHO sendiri, tidak merekomendasikannya,” tegas Andani.
Ada contoh nyata, Kamis (4/6), seseorang lolos dari rapid test di bandara Soekarno Hatta, menuju Padang.
Di bandara internasional Minangkabau, dilakukan test dan hasilnya positif.
Sebelumnya lagi, kami memeriksa 20 anggota Polri, yang sudah rapid test dan negatif. Hasilnya, dua di antaranya ternyata positif.
“Berhati-hatilah dengan rapid test,” imbau Andani.
Apa yang perlu kita lakukan saat ini? Meningkatkan kapasitas laboratorium.
Sebab, hanya dengan cara itu, kita bisa memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Ingat, perang menghentikan COVID-19 itu, adanya di lapangan, bukan di rumah sakit.
“Perang sesungguhnya itu ya di pasar-pasar, di stasiun-stasiun, di terminal-terminal, di kantor-kantor, bahkan di rumah-rumah penduduk,” ujar Andani.
“Bukan di rumah sakit. Rumah sakit itu benteng terakhir untuk mencegah dan mengurangi angka kematian,” sambungnya.
Maka itu, Andani, mengaku prihatin ketika koleganya sesama dokter di Jakarta, bercerita, bahwa ketika ada pasien masuk, yang dirawat hanya pasien, sementara keluarganya tidak diperiksa.
“Ini terjadi karena memang kapasitas labotarotium di Jakarta, juga terbatas,” tuturnya.
Sedangkan, kepada teman-teman di Dinas Kesehatan, di manapun berada, termasuk di Kemenkes, Andani berharap, bisa bekerja sama.
Menghentikan ego sektoral. Harus dibangun komitmen bersama.
“Sederhananya, jangan ada yang merasa paling hebat, tapi pekerjaannya sedikit,” kata Andani.
“Jangan diperbanyak publikasi di media massa, tetapi faktanya hasil kerjanya tidak seberapa,” imbuhnya kritis.
Apa yang ia kerjakan di Sumatra Barat, setidaknya sudah menunjukkan indikator positif.
Dengan kapasitas lab yang ada, ia mampu, menorehkan angka perbandingan 0,43 persen, dari jumlah penduduk Sumbar, yang dilakukan tes PCR.
Bandingkan dengan angka nasional yang masih 0,08 persen.
“Kami telah memeriksa 24.000 penduduk dari 5 juta penduduk, sekitar 0,43 persen. Sementara di Korea Selatan, 1,3 persen,” beber Andani.
“Setidaknya di Indonesia, Sumbar adalah yang tertinggi. Harusnya semua provinsi berlomba-lomba memperbanyak jumlah pendduk yang dites,” lanjutnya.
Mengingat belum ditemukannya vaksin, dan belum adanya kepastian kapan COVID-19 akan hilang, maka Andani, pun belum akan berhenti.
Ia masih akan memacu diri dan timnya, untuk bekerja ekstra keras, memperbanyak kapasitas.
Bahkan, jika labnya diberi perlengkapan tambahan, ia optimis mampu menyelesaikan pemeriksaan hingga 4.000 sampel par hari.
“Toh lab ini tidak akan hilang, meski misalnya, Corona sudah hilang. Lab ini akan selalu ada dan bermanfaat ke depan,” ucap Andani.
Tiga Kunci Sukses
Berbicara kunci suksesnya mengembangkan laboratorium COVID-19 di Sumbar, Andani, menyebut adanya tiga kunci.
Pertama, berkat dukungan Gubernur Sumatra Barat, serta dukungan berbagai pihak.
Ini terkait dengan posisinya di Unand, dan pengalamannya sebagai direksu RS Unand.
Kunci kedua adalah nasionalisme. Ia dan tim bekerja untuk bangsa dan negara.
Kunci ketiga adalah inovasi. Andani, mengembangkan inovasi pemeriksaan sampel yang disebut Pool Test.
“Tapi untuk menghindari kesalahpahaman, persoalan pool test harus dikupas dalam satu penjelasan tersendiri,” pesannya.
Terakhir, apakah dengan demikian Sumatra Barat, sudah siap untuk memasuki fase new normal?
Jujur, Andani mengatakan, belum ada satu daerah pun di Indonesia, yang bisa mengatakan aman seratus persen.
Akan tetapi, melihat perkembangan yang ada, maka Sumbar, relatif menjadi salah satu daerah yang paling siap memasuki fase new normal.
Bahkan, Sumbar sudah berani mempromosikan pariwisata. Penginap di hotel, akan mendapatkan voucher untuk test swab secara gratis.
Bagaimana jika hasilnya reaktif positif?
Jangan khawatir. Pihak Dinas Pariwisata akan mengirim wisatawan tadi ke pulau-pulau indah yang ada di Sumatra Barat (sepeti Kepulauan Mentawai).
Di sana, mereka bisa karantina mandiri selama 14 hari.
“Setelah negatif, boleh pulang. Enak ‘kan? Bahkan positif pun masih bisa berwisata di pulau-pulau indah yang ada di Sumatra Barat,” pungkas Andani.
Oleh: Egy Roso