Ngelmu.co – Dalam perjalanan di pesawat Garuda, saya melihat-lihat majalah The Economist, terbitan 23 April 2016. Ada sebuah artikel yang menarik saya, mengenai hubungan Myanmar-Tiongkok.
Dalam artikel itu, dibahas betapa hubungan Myanmar dengan Tiongkok, dua negara yang berbatasan dan terkait dalam tali-temali sejarah yang panjang, belakangan ini, memasuki fase baru.
Hal itu terkait proses demokratisasi di Myanmar, dengan kemenangan NLD, yang dipimpin Aung San Suu Kyi, di pemilu lalu.
Tapi yang utamanya menarik bagi saya, hubungan ekonomi kedua negara yang erat dalam masa pemerintahan para jenderal di Myanmar itu, ditandai makin kuatnya peran Tiongkok, dalam ekonomi Myanmar.
Curahan investasi proyek-proyek infrastruktur skala besar, telah menimbulkan ‘kemarahan’ yang dalam di kalangan masyarakat.
Ditulis di situ, betapa investasi Tiongkok yang datang dengan puluhan ribu tenaga kerja, telah membangkitkan kerisauan rakyat Myanmar.
Bahwa negaranya, akan berubah jadi sebuah provinsi Tiongkok.
Para jenderal pun mulai menyadari dukungan ekonomi Tiongkok, itu makin merupakan liability.
Maka pada 2012, Presiden Myanmar, Jenderal Thein Sein, mendadak membatalkan proyek dam besar Myitsone, di hulu Sungai Irrawaddy.
Beberapa proyek besar lainnya juga dibatalkan, antara lain tambang tembaga, dan proyek kereta api yang menghubungkan Provinsi Yunan di Tiongkok, ke Teluk Bengal.
Saya tidak terlalu memikirkan tulisan itu, sampai beberapa hari lalu, sewaktu mencuat masalah tenaga kerja Tiongkok, melakukan pengeboran tanah di lokasi TNI AU, di Halim Perdanakusuma, Jakarta, yang mendapat tanggapan keras masyarakat.
Otomatis, pikiran saya menghubungkan keduanya. Rupanya ada pola yang sama dalam praktik kerja sama ekonomi Tiongkok, di Myanmar dan Indonesia.
Sebelumnya, kita juga mendengar betapa besar kehadiran Tiongkok, di sejumlah negara Afrika.
Bersama proyek-proyek infrastrukturnya, datang pula puluhan ribu tenaga kerjanya, bahkan karena situasi di sana tak aman, disertai dengan aparat militernya.
Saya tergugah menulis opini ini, karena mengalami sendiri masalah tenaga kerja Tiongkok ini.
Kurang lebih 30 tahun lalu, dalam sebuah proyek di Banten, datang ratusan pekerja Tiongkok.
Sebagian besar mereka adalah pekerja konstruksi bangunan, bahkan ada juru masaknya.
Kami, pemerintah waktu itu, memulangkan pekerja-pekerja tersebut, dan meminta investor memakai tenaga-tenaga Indonesia, untuk pekerjaan yang dapat kita lakukan sendiri.
Belakangan ini, proyek-proyek Tiongkok, makin banyak di Indonesia. Saya kira itu tak masalah.
Tapi setelah pensiun, saya juga tak tahu apakah pola yang terjadi di Myanmar, di Afrika, dan yang coba diterapkan di Indonesia—30 tahun itu—masih berjalan dalam masa pasca reformasi sekarang.
Berita belakangan ini menunjukkan, bahwa pola itu masih berjalan, bahkan mungkin cukup intens.
Kalau saja tidak tertangkap basah oleh petugas keamanan TNI AU, mungkin tidak pernah ada orang yang tahu, atau tahu tetapi tidak peduli.
Menggelisahkan
Dalam kasus ini, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menggelisahkan.
Pertama, tenaga kerja Tiongkok, melakukan pekerjaan yang sangat sederhana, pengeboran tanah untuk mengambil cuplikan.
Di mana untuk pekerjaan tersebut, kita pasti mampu.
Dengan proyek kereta api cepat, ada tanda-tanda akan datangnya ribuan pekerja asing, yang akan melakukan pekerjaan yang sudah bisa kita kerjakan sendiri.
Seharusnya proyek-proyek pembangunan, siapapun investornya, dan dari manapun dananya, diwajibkan menggunakan tenaga kerja sendiri.
Pihak investor cukup mendatangkan penyelia, bila ahli-ahli di Indonesia, tak ada atau masih kurang.
Investor-investor besar dari dunia Barat, termasuk Jepang, tidak pernah mengirim tenaga-tenaga dengan keterampilan rendahan, karena biayanya memang lebih mahal.
Baca Juga: ‘Transfer Ilmu’ Jadi Alasan 500 TKA Cina Diizinkan Masuk RI
Sementara Tiongkok, karena mereka kebanyakan penduduk dan ongkos buruh rendah, proyek-proyek itu datang disertai tenaga kerja.
Sungguh ironis, manakala kita masih mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri (TKI), di Indonesia, lapangan kerja kita justru diisi orang lain.
Dari angka resmi tenaga kerja Tiongkok, pada 2015, tercatat sekitar 12.800 orang, atau 23 persen dari total tenaga kerja asing.
Ini jumlah tertinggi TKA, jauh dibandingkan Korea dan Jepang.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah angka tak resmi atau yang datang tidak secara sah, diperkirakan berlipat kali.
Angka di atas, kelihatannya hanya puncak dari gunung es yang jauh lebih besar.
Kedua, masalah keamanan. Bagi negara manapun kedaulatan dan keselamatan negara adalah kepentingan nomor satu.
Tak masuk akal, bahwa orang asing boleh melakukan kegiatan di wilayah militer; di negara manapun tak mungkin.
Di Tiongkok, pun mereka tak akan membolehkan hal itu.
Tidak masuk akal, mereka tidak tahu kegiatan itu berlangsung di wilayah militer, karena ada pemandu orang-orang Indonesia.
Orang Indonesia mana yang tidak tahu Halim, adalah wilayah angkatan udara?
Seseorang tidak perlu dianggap xenophobia dan penganut teori konspirasi, jika punya kecurigaan adanya motif lain di belakang kejadian itu.
Apalagi jika dilihat betapa agresifnya Tiongkok, memasuki wilayah-wilayah di Laut Tiongkok Selatan, yang juga didaku oleh negara-negara ASEAN.
Mereka mengirim armada dan membangun pangkalan di pulau-pulau yang masih dalam sengketa.
Saya kira, kita bisa membaca sikap Tiongkok, yang agresif itu dengan gerakan Presiden Xi Jinping, yang kembali kepada ideologi politik komunis garis keras.
Ini juga diberitakan dalam majalah The Economist, di edisi yang sama.
Dalam sejarahnya, Tiongkok memang sangat ekspansif dan agresif.
Tentu saja ini sesuatu yang wajar, bagi negara yang demikian besar dan dengan sejarah peradaban yang panjang.
Kita juga telah mengalami serangan Tiongkok, yang mencoba menempatkan wilayah kita dalam hegemoni dan menjadi vassal-nya.
Saya ingat belajar sejarah, pada abad XIII, Kublai Khan, mengirim 20.000 hingga 30.000 anggota pasukan lautnya untuk menaklukkan Singosari.
Tapi usaha itu, dapat digagalkan oleh Raden Wijaya, yang kemudian menjadi pendiri Kerajaan Majapahit.
Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
Ketiga, siapa yang bertanggung jawab? Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu.
Namun, yang sungguh menyedihkan adalah respons dari pejabat yang mensponsori proyek kereta api cepat ini.
Tanggapan pertama yang kita dengar adalah telah terjadi kesalahpahaman, bukan kesalahan.
Tidak ada sama sekali pengakuan bahwa telah terjadi kesalahan besar dalam dua hal di atas, yaitu:
- Didatangkannya orang-orang asing melakukan pekerjaan sederhana, dan
- Melakukan kegiatan di wilayah militer.
Saya menulis artikel ini, tak lain untuk mengingatkan kita semua, terutama mereka yang sedang memikul amanah mengurus bangsa ini.
Agar lebih peka, lebih peduli, dan lebih punya rasa tanggung jawab.
Oleh: Mantan Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita–Kamis, 12 Mei 2016