Ngelmu.co – Tak perlu menggurui Gontor, karena jauh sebelum negeri ini lahir, Gontor, sudah mendidik bangsa ini hingga melahirkan tokoh-tokoh besar.
Berbagai peristiwa besar, sudah dilalui oleh Pondok Modern ini, dan Gontor, selalu tampil memberi solusi.
Tirakatan, hidup sederhana dan menjauh dari gemerlap dunia adalah napas perjuangan mereka.
Manajemen wabah dan epidemi, telah menjadi kurikulum dasar mereka, tak perlu kalian ajari.
Jangankan ancaman kematian karena pandemi, ancaman pembunuhan dan pembantaian karena pengkhianatan PKI, pernah mereka lalui.
Jauh sebelum kalian menetas menjadi manusia.
Bahkan mungkin, jauh sebelum kalian menjadi mani di punggung ayah kalian.
Gontor bukan model pesantren ‘by request’ yang menuruti apa pun usulan dan saran wali santri.
Meskipun bisa jadi wali-wali santri itu para praktisi pendidikan. Namun, belum tentu mereka paham seluk-beluk dunia pesantren.
Mungkin mereka menguasai berbagai metode pembelajaran. Namun, belum tentu mereka paham bagaimana menanamkan adab dan budi pekerti kepada santri.
Maka saat para praktisi pendidikan—termasuk Menteri Nadiem—seolah ijma’ secara nasional untuk melakukan pembelajaran secara jarak jauh.
Gontor, ‘ngotot’ dengan prinsipnya; tidak mungkin akhlaq, adab, dan tauhid bisa ditransfer lewat internet.
Tidak mungkin kedisplinan dan keteladanan, bisa diajarkan via dunia maya.
Tidak mungkin a’mal yaumiyah, bisa dikontrol via media sosial.
Ini yang tak dipahami oleh banyak kalangan, termasuk Mas Menteri.
Rupanya banyak yang gerah dengan sikap Gontor. Dicarilah kesalahan, dan ditunggu-lah momentum yang tepat untuk menyerang.
Saat ditemukan salah satu wali santri asal Sidoarjo, positif Corona, maka semua media menyalak tak karuan; anaknya pasti positif juga.
Hampir semua media massa mem-blow up isu ini, seolah mereka mendapatkan senjata pamungkas. Gontor pasti tumbang.
Mereka lupa kalau ‘tentara-tentara’ Gontor, bertebaran di mana-mana. Jaringan Gontor tersebar di seluruh negeri.
Maka dengan secepat kilat, klasifikasi dan pembelaan datang dari berbagai lini, digerakkan oleh para alumni.
Para kuli tinta itu lupa, dengan siapa mereka berurusan. Kalau tidak hati-hati, bisa kualat mereka nanti. Gontor itu keramat.
Gontor bukan model lembaga yang gemar menengadahkan tangan untuk meminta bantuan, atau ikut ramai meng-update data guru; agar dapat tunjangan sertifikasi.
Tidak juga ikut menyetorkan data siswa ke dinas, agar dapat bantuan operasional sekolah (BOS).
Itu bukan mental Gontor.
Mental Gontor itu mental memberi, mental tangan di atas, mental pengorbanan dan keikhlasan. Bukan mental pencari sumbangan.
Meskipun mencari sumbangan itu bukanlah perilaku yang tercela. Namun, Gontor tahu persis jika itu mereka lakukan, maka idealisme dan manhaj pendidikannya pasti sudah terbeli.
Tak ada lagi kemandirian dan kedaulatan untuk mencetak generasi. Kurikulum akan di-intervensi, dan visi misi lembaga, hanya akan jadi mimpi.
Baca Juga: Kata Tifatul Sembiring soal Kelepon yang Disebut Tak Islami
Sebenarnya, kalau para pihak yang ingin menyalahkan Gontor, itu mau bersikap fair, maka semestinya mereka sadar, kalau Indonesia ini negara demokrasi.
Jangan ada paksaan dan penyeragaman. Tidak perlu mewajibkan semua anak agar tetap di rumah, berbulan-bulan tidak sekolah.
Kalau ada pihak-pihak yang tidak siap dan tidak mau anak-anaknya bersekolah secara tatap muka, ya silakan saja. Itu hak pribadi.
Tidak perlu melarang dan menghalangi wali-wali murid yang ingin anaknya tetap sekolah, dan kembali ke pesantren.
Apalagi Gontor, sudah berusaha membuat protokol yang cukup ketat.
Sejak COVID-19, melanda dunia, banyak orang kehilangan akal sehat.
Andai pun ada santri Gontor, maupun pesantren atau sekolah yang lain terkena penyakit, mestinya kita doakan agar segera diberikan kesembuhan dan kesehatan.
Bukan malah disalahkan dan dijadikan bully-an.
Sama seperti ketika ada warga di kampung kita, dikabarkan positif Corona, mestinya kita empati dan memberi dukungan—materiil maupun moril—bukan malah diusir.
Semoga pesantren di Indonesia, tegas dan tetap istiqomah; untuk tidak memedulikan pemanfaatan musuh Islam, dengan COVID-19.
Oleh: Pengasuh Mahad Alfatih Klaten, Suhari Abu Fatih