Ngelmu.co – Jelas tidak bisa diperbandingkan, antara Raja Najasyi r.a., dan Erdogan, dari sisi kemuliaan. Nama yang awal disebut adalah penolong para sahabat Rasulullah, pada hijrah pertama dengan kekuasaannya di Etiopia.
Nama kedua, merupakan seorang pemimpin negara sekuler di masa kini.
Tulisan ini bukan untuk memperbandingkan, tapi untuk menarik benang merah antara yang terjadi di Habasyah dan Konstantinopel, lalu mengambil pelajarannya.
Dia seorang raja. Tapi ketika wafat, tak ada satu pun pejabat kerajaan yang menyolatkannya.
Apa pasal? Sebab, di istana itu hanya ia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selebihnya, masih memegang teguh agama lama: Nasrani.
Raja Najasyi, tak mampu mengubah, apalagi memaksakan keyakinannya kepada orang di sekitar. Alih-alih, ia harus menyembunyikan keimanannya.
Pasalnya, ada mudhorot yang besar, bila ia diketahui telah meninggalkan agama nenek moyang, yaitu dikudeta, bahkan dibunuh.
Ia raja. Pemegang kekuasaan tertinggi. Tapi tak mampu menegakkan syariat Islam, sebagai sistem pemerintahan.
Tapi ketika wafat, ia tetap disholati oleh Rasulullah, dan para sahabat dengan ghaib.
Keimanannya diakui. Ketidakmampuannya dimaklumi. Jasanya disanjung tinggi.
Jadi, tak semua raja itu berkuasa penuh dan bisa sekehendak hati.
Begitupun dengan Erdogan, yang memimpin negeri dengan catatan kudeta militer berkali-kali.
Tahun 1960, 1971, dan 1980. Ada juga intervensi melalui memorandum militer pada tahun 1997. Terakhir, kudeta militer gagal terjadi, pada 2016 lalu.
Baca Juga: Allahu Akbar, Jemaah Penuhi Hagia Sophia di Sholat Jumat Pertama
Erdogan tak memerintah negaranya dengan hukum Islam, tapi dengan sistem sekuler.
Kita semua sudah tahu. Tak ada ‘kah keinginan di hatinya agar syariat tegak di sana?
Faktanya, ia tengah melawan penindasan Islam, di negerinya yang mengatasnamakan sekulerisme dan mengislamisasi apa yang mungkin.
Berbagai progres pun telah terlihat.
Dulu, jilbab tak boleh hadir di institusi pemerintah. Sejak 2013, gedung parlemen telah dimasuki empat legislator berhijab:
- Sevde Beyazit Kacar,
- Gulay Samanci,
- Nurcan Dalbudak, dan
- Gonul Bekin Sahkulubey.
Turki yang awalnya begitu minus dalam parameter Islami, kini malah menonjol di dunia Islam, setelah dikembalikannya Ayasofia, menjadi masjid.
Tapi sampai sekarang, sekulerisme itu tetap berlaku. Tak pernah ada pernyataan dari Erdogan, bahwa ia akan mengubah total negaranya menjadi berlandaskan syariat.
Menyikapi Erdogan, ada dua kutub di tengah umat Islam.
Dari yang memujanya, sampai mengingkari, bahkan membenci.
Padahal Erdogan, masih manusia biasa yang punya kesalahan; sekaligus punya jasa yang diakui umat.
Turki yang masih tak aman dari kudeta—yang bisa meletus tiba-tiba—masih jauh dari ideal.
Terlalu mudah dicari kekurangannya kalau mau dicibir. Tapi terlalu mudah juga untuk diungkit perbaikan yang ada di sana, kalau mau dipuji-puji.
Apa yang dibutuhkan Erdogan? Dukungan dunia, mendampingi agenda-agenda positifnya ke depan.
Bahkan janji pembebasan Al-Aqsa, pun telah terucap. Jangan sampai ia seperti Raja Najasyi, raja yang beriman dalam kesendirian, di tengah istana yang dikuasainya.
Oleh: Zico Alviandri