Ngelmu.co – Khalayak ramai masih terus membahas soal politik dinasti, usai putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju di Pilwalkot Solo. Langkahnya terus menuai kritik. Publik pun menyoroti pernyataan Gibran, pada 2018 lalu.
Dilansir Kumparan, Jumat (24/), ia justru mengaku heran, ketika disebut berperan membentuk dinasti politik.
Sebab menurutnya, warga diberi kebebasan untuk memilih, karena majunya ia di Pilwalkot Solo, merupakan kontestasi; bukan penunjukan.
“Saya ‘kan ikut kontestasi, bisa menang, bisa kalah, tidak harus diwajibkan memilih saya. Bisa dipilih, bisa tidak, bisa dicoblos, bisa tidak,” kata Gibran.
“Jadi tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya, ini ‘kan kontestasi, bukan penunjukan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya? Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu,” sambungnya.
Mendengar pernyataan tersebut, publik pun menjawab kebingungan yang disampaikan oleh Gibran.
Sudah ciri khas sekali “saya bingung” dan “saya kaget” dicircle lo. padahal jelas lo dipilih jadi calon ya karna anak presiden.
Emang karna apa? hasil kuat kuatan teriak “merdeka”?
— Rizky Fariza Alfian (@Rizkyfarizaa) July 24, 2020
Jadi gimana? pic.twitter.com/oX7TAvLFeV
— Athalarizq (@athalarizq_) July 24, 2020
oleh karena itu, kami dari awal optimis masyarakat bingung. Kami tidak pernah pesimis, optimis bingungnya, bingung bener, bingung pasti.
— ᴍɪᴅᴢᴢʏ (@bhironkgalot) July 24, 2020
Kalo dinasti politik keluarganya aja jawabnya bingung dan gatau, gimana mau jadi pemimpin? Iya emg masih bisa milih besok pas pemilu, tapi kan secara proses pemilihan calon di partai emg bapakmu kemarin yg intervensi. Punya ambisi politik itu boleh, tapi gaboleh abuse of power 🙂
— Muhammad Alfian (@malfiandr) July 24, 2020
Gibran: Bukan dinasti politik krn ini pemilu. Org bisa pilih atau tidak pilih saya.
Ya kalo bapakmu Sahrul Gunawan apa bisa nikung Pak Purnomo spy diusung PDIP???
— 龙瀚生 Gehan (@gehanghofari) July 24, 2020
Namun, ada pula yang membela, karena menurutnya, Gibran, tak serta-merta ditunjuk menjadi Wali Kota Solo.
Loh kan itu juga Gibran di Pilkada belom pasti kepilih. Pada akhirnya, yaa masyarakat juga yang nentuin. Kalo dia kepilih, yaa berarti emng masyarakat solo mau dia jd walkot. Toh juga Jokowi ga punya wewenang dan power buat menentukan Pilkada nantinya. Ga kayak Soeharto.
— kontoru (@ontolohod7) July 24, 2020
Sebelumnya, Gibran, menyampaikan kebingungannya saat mengikuti webinar.
Acara yang digelar PDIP itu bertajuk ‘Calon Kepala Daerah Muda Bicara Politik Dedikasi, Motivasi, hingga Politik Dinasti’, Jumat (24/7) lalu.
“Jadi banyak yang menanyakan masalah dinasti politik,” kata Gibran.
“Sebenarnya dalam satu tahun terakhir ini, kalau di Solo, ya, saya setiap kali bertemu dengan warga, saya selalu jelaskan apa itu dinasti politik,” imbuhnya.
Dirinya bahkan yakin, tudingan dinasti politik, tidak akan berpengaruh besar.
Pasalnya, menurut Gibran—yang mengaku selalu diterima oleh warga saban kali blusukan—masyarakat Solo, sudah mengerti soal dinasti politik.
“Kalau yang masih meributkan dinasti politik itu ‘kan ya dari, ya kita tahu orang-orangnya siapa, dan yang diributkan itu-itu saja,” ujarnya.
Gibran, dalam kesempatan itu juga menjelaskan kembali alasannya terjun ke politik; bisa membantu lebih banyak orang.
“Kalau saya masuk ke politik, yang bisa saya sentuh, kalau di Solo, ya 500.000-an orang yang bisa saya sentuh, melalui kebijakan-kebijakan saya,” pungkasnya.
Baca Juga: Publik Kritik Politik Dinasti, PDIP Sebut Gibran Tak Bisa Pilih Lahir dari Mana
Terlepas dari itu, majunya Gibran di Pilwalkot Solo, telanjur dinilai menambah daftar panjang politik dinasti keluarga; tak mengindahkan proses kaderisasi partai selama ini.
Penilaian itu disampaikan oleh pengamat politik, Adi Prayitno, saat diminta berpendapat soal pengumuman DPP PDIP, yang menetapkan Gibran, bersama Teguh Prakosa, sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Solo, Jumat (17/7) lalu.
Ia menilai, tak ada kejutan dengan pengumuman yang disampaikan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani.
Tanpa diumumkan pun, menurut Adi, publik sudah bisa membaca kemunculan ‘putra mahkota’ yang datang belakangan itu.
“Pencalonan Gibran menambah daftar panjang politik dinasti keluarga,” tuturnya, seperti dilansir bisnis.com.
“Calon internal sudah firmed, tapi karena ada ‘putra mahkota’, maka situasi jadi berubah,” lanjutnya.
Lebih lanjut Adi mengatakan, kemunculan Gibran pada kontestasi politik ini, memang tak melanggar aturan.
Tetapi dari sisi etika politik, sambungnya, hal itu tidak elok karena nantinya akan memunculkan konflik kepentingan; selain masalah konsistensi sikap Gibran.
“Apalagi Gibran pernah menyatakan tidak tertarik dengan politik, karena ingin konsentrasi pada bidang bisnis,” tutup Adi.