Ngelmu.co – Terjun langsung ke lapangan, melakukan penelusuran demi mencegah virus Corona semakin menyebar, para tenaga medis; khususnya di Solo, Jawa Tengah, harus kuat menghadapi pengalaman tak mengenakan. Mulai dari dicaci, tak dipercaya, hingga diusir, semua mereka alami.
“Kita dimarahi, tidak dipercaya, bahkan kita diusir, dan dibentak. Dia merasa di-positif-kan COVID, biar kita dapat insentif, biar dapat bayaran dari pemerintah.”
Demikian ungkap Kepala Puskesmas Purwosari, dr Nur Hastuti M.Kes, seperti dilansir CNN, Kamis (6/8).
Tim medis, tak hanya harus berjuang melawan COVID-19, tetapi juga mesti kuat menghadapi masyarakat yang tak bisa diajak kerja sama, saat mereka melakukan pelacakan [tracing].
Meski niat mereka baik, penolakan serta tudingan yang kurang mengenakkan, masih kerap dilayangkan oleh beberapa warga.
Hastuti, juga menceritakan bagaimana warga pernah melabrak pihak puskesmas, karena tak terima didata sebagai orang yang berkontak erat dengan anaknya; pasien positif Corona.
Warga tersebt menolak membantu tim medis—melakukan pelacakan—karena sama sekali tak merasakan gejala.
Padahal, sang anak sudah terinfeksi virus Corona, dan dirawat selama beberapa hari di rumah sakit.
“Ya kita edukasi pelan-pelan. Kita sampaikan bahwa swab tetap penting,” kata Hastuti.
“Kalau nanti hasilnya negatif, ‘kan sudah plong. Bisa ditunjukkan ke orang-orang, sebagai bukti kalau dia tidak kena COVID-19,” imbuhnya.
Setelah itu, barulah orang tua dari anak pasien itu bersedia mengikuti uji swab.
Baca Juga: Sudah Keterlaluan, Dokter Minta Anji Diseret ke Jalur Hukum
Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Solo, Siti Wahyuningsih, hal serupa tak hanya dirasakan tim Puskesmas Purwosari, tetapi juga di tempat lain.
Beragam penolakan warga, untuk sekadar wawancara lewat telepon pun dipersulit.
Biasanya, menghadapi kendala ini, petugas langsung mendatangi alamat kontak yang dimaksud.
Meskipun pada praktiknya, beberapa kali petugas tak dibukakan pintu oleh warga yang hendak didata.
Padahal, petugas mengetahui, di dalam rumah tersebut ada orang; tidak kosong.
“Iya, pembantunya mengintip lewat jendela. Tapi petugas kita enggak dibukakan pintu,” ungkap Siti, di kantornya.
Pernah juga petugas Puskesmas yang hendak melakukan pelacakan, sampai dikejar anjing penjaga. Pemilik rumah, justru tak mau menemui.
“Teman-teman sebenarnya bisa mentolerir. Mereka sudah terasah,” kata Siti.
Namun, yang membuat tim medis kerap kecewa dan sedih adalah saat mereka ditolak.
Apalagi jika ada cacian atau tuduhan yang terlontar. Tak sedikit tim medis yang sampai menangis.
Tim medis adalah kelompok yang sangat berisiko tertular virus Corona. Meski demikian, mereka tetap menjalankan tugas.
Tapi yang mereka terima justru penolakan dan tuduhan tak berdasar.
“Dibilang ‘Anda seperti ini karena ingin mendapat insentif Rp100 juta per pasien’, ini ‘kan sangat menyakitkan bagi anak-anak saya,” ujar Siti.
“Kita dapat Rp100 juta dari mana coba? Saya di sini cuma bisa ngomong. Kasihan anak-anak saya yang di lapangan. Mereka yang merasakan langsung,” sambungnya.
Siti, yang juga merupakan Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Solo, sangat mengapresiasi petugas pelacakan yang terus berjuang, meski menghadapi tantangan berat di lapangan.
Saat pegawai pemerintah lain berakhir pekan bersama keluarga, petugas tracing, kerap kali masih harus terjun ke lapangan; demi mencegah COVID-19 semakin menyebar.
Berulang kali, Siti mengaku, mengumpulkan petugas untuk sekadar mendengar keluh kesah mereka.
“Kadang-kadang kita video call, kadang saya kumpulkan. Kita saling support. Saya sebagai orang tua, mendengar keluhan di puskesmas sedih juga,” akuannya.
Di akhir, Siti berharap, meski sering mendapat tekanan berat dari masyarakat, tim tetap bisa konsisten menjalankan tugas.
Semua tantangan harus di-hadapi, demi memutus rantai transmisi COVID-19.
“Kita tidak ada tujuan apa-apa. Tujuannya cuma melindungi masyarakat,” pungkas Siti.
Pengalaman pahit ini tak hanya dialami oleh tenaga medis di Solo, karena di daerah lain pun, tak sedikit yang mengalami hal serupa.