Ngelmu.co – Kekecewaan masyarakat terhadap Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, nampak begitu jelas. Mereka menilai, kegarangan soal dinasti politik yang kerap disuarakan oleh mantan Wakil Ketua DPR itu, mendadak padam.
Sebelumnya, Fahri, kerap menyuarakan ketidaksetujuannya atas dinasti politik.
Namun, kini partainya justru mendukung anak sulung dan menantu dari Presiden Joko Widodo, maju di Pilkada Serentak 2020.
Tak perlu mundur terlalu jauh. Pada 8 Oktober 2019 lalu, lewat akun Twitter pribadinya, @Fahrihamzah, ia pernah berpesan.
“Kalau saya boleh kasih masukan ke Gibran, jangan ambil bagian dalam kekuasaan, meskipun itu pilihan rakyat. Itu membebani reputasi babenya. Jangan mau diolok-olok oleh penjilat yang akhirnya merusak susu sebelanga. Mendingan susu dibikin martabak saja. Eman-eman.”
“Anak dan keluarga Presiden Jokowi masih muda, sebaiknya jangan masuk politik ketika belum matang, dan ketika situasi bisa menyeret publik menilai bahwa presiden ingin membangun dinasti kekuasaan. Santai ajalah. Berilah tenaga pada reputasi presiden, itu lebih penting sekarang.”
Selang dua bulan, tepatnya 17 Desember 2019, Fahri, kembali menyarankan, jika Gibran, sebaiknya tak ‘terjun’ ke dunia politik sebelum masa jabatan Jokowi, selesai.
“Sebaiknya Gibran, maju paling cepat setelah 2024. Kalah atau menang di Solo, akan merusak reputasi bapaknya. Padahal, harusnya reputasi presiden berakhir moncer pada periode akhir.”
Sayangnya, pendapat yang Fahri, sampaikan kepada khalayak ramai, justru bertentangan dengan sikap Partai Gelora, dan penilaian pribadinya saat ini.
“Saya pernah kritik Gibran, kalau maju Pilkada, bisa berakibat ke arah reputasi bapaknya. Sekarang terbukti rame ‘kan. Tapi tetaplah, itu tidak mengubah makna teoritis terminologi dinasti yang terkait dengan pewarisan dengan darah. Pilkada bukan pewarisan darah. Pilkada bukan dinasti.”
“Itu nasihat setahun lalu: Gelora belum ada. Pilkada belum ada. Gibran belum maju.”
“Setahun kemudian: Gelora ada. Pilkada sah mulai. Gibran dah maju. Masak dilarang.”
Itu nasehat setahun lalu:
Gelora belum ada.
Pilkada belum ada.
Gibran belum maju.Setahun kemudian:
Gelora ada
Pilkada sah mulai.
Gibran dah maju.Masak dilarang. https://t.co/cXKc9nwh7Q
— #2020ArahBaru (@Fahrihamzah) September 18, 2020
Tak sedikit yang kecewa dengan perubahan sikap ini. Sebagian besar menyayangkan sekaligus menanyakan, apa penyebab hingga kritik ‘memadam’.
Dinasti ada dua arti. Zaman sekarang yang disebut dinasti biasanya bukan menurunkan jabatan langsung ke keturunan. pic.twitter.com/EMEnKGTjQI
— Ahmad Pathoni (@apathoni) September 18, 2020
PG akan bertarung head to head vs PSI.
Siapa yg bakal kena likuidasi/pembubaran lebih dulu.
🤭🤭🤭— Gue Influencer. Ape lo?! (@Gue_Influencer) September 18, 2020
Ini asli bikin kaget, seiring berjalannya waktu inkonsisten argumen semakin jelas terlihat. Sekaliber pak @Fahrihamzah padahal. Seperti pak @msaid_didu bilang, sisakan ruang ketidakpercayaan pada politisi.
— Bangant (@thisisanta) September 18, 2020
Dulu gibran blom maju aja udh dikritik jgn maju, tp skrg gibran maju malah didukung….
Robinhood itu mencuri harta utk memberi makan rakyat, klo anda mendukung politik dinasti utk memberi apa ke rakyat?
— Dimz (@andxz) September 18, 2020
Beragam respons publik sudah muncul sejak, Selasa (15/9) lalu.
Saat itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Gelora, Mahfudz Siddiq, menyatakan dukungan partainya di Pilkada Serentak 2020.
Terhadap Gibran Rakabuming Raka, di Pilkada Solo, dan Bobby Afif Nasution, di Pilkada Medan.
Mahfudz menilai, Gibran-Teguh Prakoso, berpotensi memenangkan Pilwalkot Solo.
Selengkapnya: Gelora Dukung Anak dan Mantu Jokowi